Part 10 Bisik-Bisik

671 21 3
                                    

#IntrikPart10

INTRIK

Oleh : Triana Kumalasari

Part 10

Bisik-Bisik

.
.

“Selamat pagi, Pak Leo,” sapa security kantor PT Atmaja Building di pintu depan, seraya meletakkan tangan kanan di dahi dengan gaya menghormat. Sedetik kemudian, pria berkumis tebal itu memandang Leo sambil melongo.

Leo mengangguk sekilas sebagai tanggapan, kemudian berjalan melintasi lobi kantor. Resepsionis yang dilewatinya menatapnya dengan mulut ternganga. Sejurus kemudian, wanita itu baru tersadar dan buru-buru membungkuk hormat, menyapa sang atasan.

Menjadi pusat perhatian bukanlah hal baru bagi Leo. Sebagai ahli waris tunggal PT Atmaja Building, segala gerak geriknya selalu menjadi sorotan. Sudah biasa.

Akan tetapi, sorotan kali ini tidak mengenakkan hati. Berjalan masuk ke kantor dengan postur tak segagah biasanya, wajah pun belum pulih sempurna, membuat semua mata membelalak ke arahnya, menatap dengan bertanya-tanya, penuh rasa penasaran. Sebelas hari setelah perkelahian di Bali, bekas-bekas luka di mukanya beberapa masih belum hilang.

Para karyawan yang bergerombol di depan pintu lift segera menyapa sopan dan memberi jalan saat direktur muda itu menghampiri mereka. Namun, keterkejutan itu segera terasa. Karyawan-karyawan tersebut menatap atasan mereka dengan wajah heran. Leo berusaha mengabaikan dan tetap tenang.

Pintu lift bergeser terbuka dan semua naik. Para karyawan berduyun-duyun memosisikan diri di belakang Leo. Bisik-bisik mulai terdengar berdengung.

Sebenarnya, Farah melarangnya ke kantor. Namun, klien kali ini sangat penting. Sebuah proyek besar. Ia harus menghadiri meeting dan meyakinkan sang klien untuk menandatangani kontrak dengan PT Atmaja Building. Beruntung, istrinya berangkat mengajar, sehingga Leo dapat menyelinap keluar rumah tanpa perlu perdebatan panjang. Lelaki itu meminta sopir kantor menjemputnya ke rumah, karena kondisinya belum memungkinkan untuk mengemudi sendiri. 

Punya istri ternyata merepotkan. Farah juga bawel seperti maminya, memaksanya beristirahat di rumah, tak peduli penjelasannya tentang betapa banyak profit yang bisa dihasilkan perusahaan dari klien ini. Tidak bisa! Bagaimanapun, ia harus ke kantor dan menyukseskan meeting ini.

Lelaki itu meraba rusuk kiri. Sudah lebih baik, tetapi belum sembuh total.

Farah ... wajah wanita yang telah memorakporandakan acara bulan madu mereka melintas di benaknya. Gara-gara wanita itu, mereka berdua menghabiskan bulan madu di rumah sakit. Bulan madu macam apa itu?

Sang direktur muda mendengkus kecil. Kelebatan sosok Farah dengan jilbab berkibar menerjunkan diri ke kolam demi menolong seorang bocah kembali terbayang. Juga mata hitam wanita itu yang membulat ketakutan setelah peristiwa di dalam gang. Lalu ... wajah manisnya yang merona kala jemarinya berada dalam genggaman Leo. Bibir sang putra Atmaja menyunggingkan senyum tipis.

Memiliki istri memang merepotkan. Bawel. Namun, sekaligus memberikan pendar kehangatan di hati atas perhatian yang diberikan lewat kebawelannya. Diusapnya pelan rusuk kirinya yang terasa nyeri. Mungkin, kini ia mulai mengerti kenapa papinya memilih Farah Maheswari Dinata untuk menjadi istrinya.

Pintu lift terbuka di lantai empat. Hendy yang tampak telah menunggu menyambutnya tergesa. “Alhamdulillah, Pak Leo bisa datang. Saya sudah panik, Pak. Saya takut tidak bisa meyakinkan calon klien kita. Kemampuan presentasi dan negosiasi saya belum sehebat Bapak. Ini proyek besar, saya tidak berani menangani sendirian. Berkas-berkas sudah saya persiapkan di ruangan Bapak. Perwakilan dari klien akan datang tiga puluh menit lagi. Dan, eh, apa Bapak masih sakit?” Manajer itu baru menyadari kondisi Leo yang terlihat belum fit.

“Sedikit,” jawab Leo singkat, melangkahkan kaki melintasi ruangan besar dengan kubikel yang berjajar. Karyawan-karyawan yang ada di situ menyapanya. Leo membalas dengan anggukan.

“Eh, kamu perhatiin nggak, wajah si Bos? Ada bekas-bekas memar. Berarti gosip itu benar, ya?” Terdengar seseorang berbisik. Bisikan yang agak terlalu keras.

“Gosip yang mana?” Bisikan lain menanggapi.

“Itu lho, sepulang dari bulan madu bersama istrinya ke Bali, kan Pak Leo nggak masuk kantor karena katanya sakit akibat kecelakaan. Sofyan, perwakilan karyawan yang menjenguk, bilang kalau si Bos terlihat babak belur kayak habis ditonjokin orang gitu. Waktu itu kan pada ngira Sofyan mengada-ada.”

“Hoo, iya. Soalnya waktu itu Sofyan nggak bisa nunjukin bukti foto. Sofyan bilang, Pak Leo melarang mengambil foto. Kita-kita ngira alasan Sofyan doang. No pic berarti hoax.”

“Tapi, lihat tuh, bekas-bekasnya masih ada. Berarti tadinya beneran babak belur.”

“Waah, bener juga.” Terdengar napas tertahan. “Tapi, siapa yang nonjokin?”

“Katanya, saat bulan madu di Bali, Pak Bos sampai masuk rumah sakit, lho.”

“Hah? Kok bisa? Memangnya diapain sama istrinya?” Suara lain terdengar. “Padahal Bu Farah kan penampilannya seperti lemah lembut gitu.”

“Itulah. Don’t judge a book by its cover.”

“Masa Pak Leo kalah sama istrinya? Padahal Pak Bos kan galak gitu.”

“Nah, itu dia. Seperti yang aku bilang tadi. Don’t judge a book by … eh … by ….” Kalimat karyawati berambut sebahu itu terhenti, karena Leo menghentikan langkah dan berbalik, memandang galak ke arah mereka. Kedua alis cokelat tebalnya bertaut.

Sang karyawati buru-buru duduk kembali di kursinya, dengan gugup meneruskan ketikan. Pun dua teman bicaranya, tergopoh menyelamatkan diri.

Di ujung ruangan, di lorong menuju pantri, seorang lelaki berkulit kecokelatan dengan hidung agak minimalis memandang Leo. Sejak sang putra Atmaja berjalan memasuki ruangan, manik hitam lelaki itu terarah mengawasi. Dahinya berkerut dengan sudut dalam alis hitamnya tertarik ke atas. Bibir di bawah kumis tipisnya terkatup. Rasa cemas tergambar jelas di wajah manisnya. Lelaki itu mengkhawatirkan adiknya.

Fahri Mahesa Dinata—lelaki berparas manis itu—terus mengikuti langkah Leo dengan matanya, sementara tangan kanannya menggenggam cangkir berisi kopi. Ia baru kembali melangkah setelah sosok adik iparnya menghilang di balik pintu ruang direktur.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan bulan madu mereka? Apa Farah baik-baik saja?

Fahri bertanya-tanya cemas dalam hati. Penugasan dirinya untuk mengikuti pelatihan di Surabaya selama dua minggu kemarin membuatnya hanya bisa berkabar lewat telepon dengan adiknya. Melalui sambungan jarak jauh tersebut, Farah mengatakan hanya mengalami luka kecil. Namun, kenapa kondisi Leo seperti bukan bekas luka kecil?

Begitu sampai di ruangan manajer—ruang kerjanya—Fahri segera meletakkan cangkir kopinya ke meja dan hendak menelepon Farah. Namun, interkom di mejanya berbunyi.

“Pak Fahri, Bapak diminta datang ke ruangan Pak Leo.” Suara Nancy—sekretaris Leo—terdengar melalui alat komunikasi kantor tersebut.

Fahri mengeluh. Kali ini, pekerjaannya yang mana lagi yang akan dikritik oleh atasannya itu?

Leo mempersilakan Fahri dan Hendy untuk duduk, lalu menyodorkan beberapa berkas ke hadapan Fahri. “Silakan dibaca dulu. Tiga puluh menit lagi, ada meeting dengan pihak Artana Medika. Mereka bermaksud membangun rumah sakit di Cikarang dan tugas kita hari ini adalah meyakinkan pihak Artana Medika untuk memercayakan proyek tersebut pada PT Atmaja Building. Pak Fahri nanti silakan ikut ke dalam ruang meeting.”

“Benarkah? Saya akan ikut meeting ini?” Mata Fahri berbinar. Namun, sejurus kemudian, ketegangan menyergap wajahnya. “Eh, tapi, bukan saya yang presentasi kan, Pak? Waktu tiga puluh menit, saya tidak sanggup untuk langsung memahami semuanya.”

.
.

BERSAMBUNG
.
.

*Part 10 ini merupakan penggalan dari bab 8 versi novel

.
.

Dilarang copas sebagian maupun seluruh tulisan ini.

INTRIK (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang