Part 15 Nyala Kompor di Dalam Dada

95 3 0
                                    

#IntrikPart15

INTRIK

Oleh: Triana Kumalasari

Part 15

Nyala Kompor di Dalam Dada

.
.

“Ayahku petani, bukan pengusaha,” ucap Ranti. “Kami bertemu saat Damar bersama teman-teman kampusnya melakukan kemah kerja di desaku.”

“Perjuangan mereka luar biasa agar bisa menikah. Damar, terutama.” Leo menyeruput Caffe Americano-nya. “Aku, Vincent, dan Stevy jadi saksinya.”

“Datanglah ke rumah, Farah,” undang Ranti, ramah. “Kita bisa bertukar cerita tentang pusingnya jadi istri pengusaha” candanya, yang disambut dengan tawa kecil Damar dan Leo. Mau tak mau Farah ikut tersenyum. Ranti memang pribadi yang hangat dan ramah, pantas saja Damar jatuh hati.

“Datanglah kapan saja.” Damar mendukung ide istrinya. “Ranti kadang merasa kesepian. Ia sedikit minder untuk alasan yang tidak perlu.” Lelaki berjenggot itu mengerling ke arah istrinya. “Ajak Farah ke tempatku, Leo. Katamu, istrimu dibesarkan di luar lingkungan bisnis, kan? Kupikir Ranti akan cocok berbincang dengan Farah. Selain Agustus, kami ada di rumah.”

“Agustus kalian ke mana?” tanya Leo.

“Kanada. Aku ada pelatihan software di sana sebulan penuh. Ranti kubawa serta, sekalian jalan-jalan.”

“Oke, minggu depan saja kami berkunjung. Jangan lupa siapkan hidangannya,” seloroh Leo. Damar tertawa lebar, sedangkan Ranti menggamit tangan Farah dengan gembira.

Obrolan mengalir lancar, meski dalam hati Farah ada ganjalan. Vincent yang bergabung kembali empat puluh menit kemudian mengabarkan bahwa Stevani telah sampai di apartemennya dengan selamat.

“Stevy berpesan, besok pagi sambil ke kantor, tolong kamu samperin dia sekalian, Leo. Hari ini mobil Stevy masuk bengkel.” Vincent menyesap minumannya dengan nikmat. Setelah perjalanan singkat barusan, dahaga melanda kerongkongannya. “Dia bilang, nanti malam akan menghubungimu.”

Mendengar itu, tangan Farah yang berada di pangkuan terkepal.

“Oke. Terima kasih, Vincent.” Leo menanggapi. Kemudian, ia menoleh kepada sang istri, dan memberikan penjelasan yang menurut perkiraannya barangkali diperlukan, dilihat dari betapa masam wajah Farah. “Hotel Armeda berencana membangun cabang di Yogya. Mereka mempertimbangkan untuk memakai jasa PT Atmaja Building. Stevy besok pagi ada jadwal meeting dengan tim dari perusahaan kami. Perundingan tentang proyek tersebut.”

Farah hanya mengangguk tipis.

Tak perlu membesar-besarkan masalah, Farah. Ia memperingatkan dirinya sendiri dalam hati. Ini karena bisnis. Lagi pula, mereka hanya satu mobil dari apartemen Stevani sampai ke kantor.

Sejak kapan orang menjemput rekan bisnis di apartemennya? Sebuah suara muncul di kepalanya.

Itu karena mereka sudah saling mengenal. Pikirannya kembali menjawab. Mereka teman.

Teman?

Rasanya ada yang mendidih, di dalam dadanya.

💸💸💸

“Kalian sepertinya akrab.” Farah remaja memandang pemuda berambut hitam lurus belah tengah di hadapannya dengan kecemasan aneh yang mengaduk relung hati. Mereka berdua baru saja keluar dari ruang OSIS. Sebenarnya, ia dan Yudha sudah pensiun dari organisasi karena naik kelas tiga SMA. Namun, hari itu, mereka membantu adik-adik OSIS yang sibuk mempersiapkan kegiatan bakti sosial.

“Akrab dengan siapa?” tanya Yudha, saat itu.

“Violet,” ucap Farah, dengan suara sedikit melirih. Diikutinya tatapan sepasang mata berwarna gelap milik Yudha, yang jelas-jelas mengarah pada seorang gadis berseragam putih abu-abu yang tengah berjongkok sendirian di tengah lapangan basket, terlihat kikuk membereskan peralatan bekas latihan PMR. Gadis berambut sebahu itu membolak-balik tandu, berusaha melipatnya, tanpa hasil.

“Oh, iya. Kami berteman baik.”

Farah sedikit lega. Berteman baik. Yudha dan Violet hanya berteman baik, Farah. Hanya bersahabat.

“Kau pulang duluan saja, Farah.”

“Lho? Kamu nggak jalan ke gerbang juga, Yud? Nggak nyegat angkot di depan stasiun?” Farah remaja bertanya heran.

“Aku mau bantu Violet dulu. Kayaknya dia nggak tahu cara melipat tandu. Maklum, dia masuk PMR kan barusan.”

“Kenapa dia cuma sendirian beresin peralatan latihan?” Farah ingin mencegah Yudha pergi. “Biasanya kan yang piket dua anak. Nanti pasti ada petugas PMR lain yang bantuin melipat tandu itu, Yud.” Gadis berjilbab putih itu mengarahkan mata ke ruang PMR yang telah kosong. “Ke mana petugas PMR yang satu lagi?”

Yudha mengangkat bahu. “Mungkin petugas yang satu lagi Rosa. Dan entah pergi ke mana.”

Rosa, anak PMR yang cantik dan cerdas, tetapi judes dan semaunya sendiri.

Cemas. Itu yang dulu Farah rasakan saat memandang punggung Yudha, sang penghuni hati, berlari kecil menghampiri si gadis berwajah sedih yang tampak kebingungan di tengah lapangan. Seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas hatinya. Sakit.

Lalu, kenapa perasaan yang serupa kini terasa merambat lagi di hatinya?

INTRIK (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now