Bagian 2

148 3 6
                                    

4 Tahun Lalu

Happy Reading

.

.

***

Siang itu panas. Matahari sedang senang-senangnya menyinari bumi bagian katulistiwa dengan pancaran cahaya terbaiknya, terpanasnya, dan termenyengatnya. Sang Raja Tata Surya itu tidak peduli betapa tersiksanya salah satu penduduk bumi katulistiwa ini menghadapi terik dan panasnya ia.

Bukan jahat. Hanya saja sejak bumi diciptakan, memang sudah begitu porsinya ia menyinari bumi. Hanya saja, dulu bumi kuat menahan sengatan UV dengan ozon tebalnya. Dan penduduk bumi sendiri yang menyebabkan bumi tak tahan lagi menahan serangan UV dengan ozon yang semakin menipis.

Lupakan tentang matahari. Karena membahasnya bukan suatu yang penting siang itu.

Ada sesosok pria yang berkulit hitam gosong yang sejak tadi terpanggang di bawah teriknya matahari siang ini. Dengan sesekali ia mampir mendinginkan diri di bawah pohon pinggir jalan.

Pria itu tidak boleh beristirahat terlalu lama. Ia harus kembali berkeliling mencari pelanggan yang membutuhkan dirinya. Yang mungkin saja mendapati bannya bocor atau kempes.

Pria itu adalah seorang bapak.

Bapak yang tukang tambal ban keliling.

Bapak dengan umur kepala empat yang tinggi namun kurus dan ringkih.

Hingga hari ini, ia baru mendapatkan tiga pelanggan dengan bayaran yang tidak bisa dibilang banyak. Untungnya, selain menjadi tukang tambal keliling, ia juga menjual beberapa minuman dingin dan juga rokok.

Sebenarnya ia bisa saja mencari pekerjaan sekurang-kurangnya di bengkel kecil. Dulu pernah sekali, namun ada alasan kuat mengapa ia harus lepas dari tempatnya bekerja dulu. Dan alasan itu pula yang membuatnya enggan mencari tempat lain lagi. Lagipula siapa yang mau menerimanya dengan penampilan lusuh begitu?

"Pak, bisa tolong pompa ban sepeda saya, gak?" seorang pemuda datang tiba-tiba dengan peluh di wajahnya. Wah, sepeda keren. Batin Bapak.

"Oh, bisa-bisa, Insyaa Allah."

Tidak butuh waktu terlalu lama, Bapak selesai memompa ban sepeda milik pemuda rapi itu. "Mau kemana, Nak?" suara kebapakannya terdengar.

Pemuda yang tadinya serius melihat kerja Bapak mendongak menatap Bapak lantas tersenyum. "Saya mau interview. Buru-buru, Pak."

"Semoga sukses, ya Nak!"

"Makasih, Pak.Ini uangnya," selembar uang terlipat disodorkan oleh pemuda itu.

Bapak meringis. Uang merah. "Duh, gak usah aja deh. Uang kembaliannya gak cukup." Bapak menolak halus.

"Kalo begitu gak usah dikembaliin, Pak."

"Wah jangan, dong. Kamu kan lagi cari uang juga."

"Gak papa, Pak.Semoga aja dengan ini, saya lolos masuk ke perusahaan." Pemuda itu tetap mendesak. Akhirnya Bapak mengambil uang tersebut dengan wajah sungkan.

"Makasih, Nak. Semoga Allah balas dengan lebih baik lagi."

Begitu pemuda itu pergi, bapak menatap uang merah itu dengan perasaan ketar-ketir. Ia tersenyum membayangkan akan membawa martabak kesukaan kedua anaknya pulang ke rumah.

Namun naas. Demi takdir yang tidak pernah salah.

Bayangan itu pupus begitu saja. Siapa yang akan menyangka Tuhan begitu sayang dengan bapak sampai menuliskan takdir yang spesial untuknya sejak lima ratus ribu tahun yang lalu. Martabak di bayangan bapak, hanya tetap menjadi angan yang tidak ada satu pun yang tahu. Selain Bapak dan Dia Yang Maha Tahu.

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Mar 20, 2021 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

DestinyWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu