[15] Satu Langkah Terlalu Cepat

Start from the beginning
                                    

"Ke perpustakaan kampus yang di Dago." Aku nggak tahu tampak wajahku sekarang, tapi percayalah aku sudah berusaha tersenyum sebisa mungkin. "Gimana? Mau?"

Awalnya Jordan mengernyit, tapi nggak lama dia menggeser tumpukan kertas di depan. Kali ini dia menyimak. "Dari mana tuh konsepnya refreshing malah ke perpustakaan?"

"Mungkin aja nih, Pak Theo suruh kamu revisi bagian tertentu karena kontennya kurang. Kalau gitu, kita butuh referensi lebih," jelasku sambil menumpukan pipi ke telapak tangan kiri. "Atau kita cari ke tempat lain. Siapa tahu jadi ada ide juga, kan?"

"Ide?" tanya Jordan, dan aku mengangguk.

"Makin banyak referensi kamu, siapa tahu bisa jadi argumen kuat supaya dosen pembimbing nggak sampai saranin untuk ganti topik atau judul. Ada kemungkinan kamu juga kurang kuat sama alasanmu. Biasanya dospem suka nanya kan soal isi bahasan sama teori, apalagi yang dipakai jadi kutipan." Aku menambahkan, mendadak merasa jadi cerewet. Tapi kalau ini bisa membantu, kecerewetanku diampuni, kan?

"Menurut lo argumen yang kuat bisa bikin Pak Theo berhenti ngasih gue revisian?"

Meski nggak tahu banyak soal Pak Theo, sekali lagi aku mengangguk. "Setahu saya juga, kampus yang dekat Dago itu cukup lengkap untuk jurnal sama literatur soal tambangnya. Perpustakaan kampus di sana sama kita juga kerjasama, so it would be easy to go there."

"Benar juga sih ...." Jordan menggumam sejenak, kemudian menjentikkan jari. Sekarang, ada senyum di wajahnya, membuatku ikut melakukan hal yang sama. Ini Jordan yang aku sukai. "Kenapa nggak kepikiran sama gue, ya? Astaga! I love you, Vero! Pintar banget deh!"

E-eh? Apa katanya?

Kata-katanya jelas membuatku melongo, lantas mengerjap cepat. Aku salah dengar? Atau Jordan spontan saja mengucapkan hal itu?

Pilihan kedua sepertinya lebih masuk akal. Lagi pula, ini Jordan. Dari mulutnya bisa keluar apa saja. Akulah yang perlu membiasakan diri.

"O-oh, iya. Saya bisa ngantarin ke sana, tapi saya harus mampir dulu ke tempat Oma. Ada yang mau saya antar," ujarku, teringat akan titipan Mama hari ini. Kedatanganku ke sini juga sebenarnya supaya bisa sekaligus meneruskan perjalanan dari kampus ke daerah Dago." Mau ketemu di sana aja? Nanti saya nyusul."

"Kalau gitu gue antar aja, gimana?" tawar Jordan tiba-tiba. Wajahnya santai, sementara aku di sini terkejut lagi. Laki-laki ini memang orang yang selalu tiba-tiba, ya?

"Nggak perlu, Jo. Rumah Oma saya masih lebih jauh dari perpus—"

"Mumpung mobil Surya lagi di gue nih." Jordan memotong ucapanku, diikuti tangannya yang merogoh sesuatu di dalam saku celana jinsnya. "Bareng lo juga termasuk refreshing buat gue."

Sepertinya aku butuh penerjemah untuk tahu maksud dari kata-kata Jordan yang sukses membuatku overthinking.

*

"Tante Jen datang! Oma, ada Tante Jen!"

Begitu sampai di rumah Oma, wajah kecil Kenzo sudah menyapaku dari balik jendela. Bukannya membuka pintu, dia justru berlari dengan teriakan yang terdengar sampai ke luar rumah. Aku hanya bisa menggeleng melihat tingkah Kenzo yang kebiasaan hebohnya. Persis seperti Felix dulu.

"Itu siapa, Ver? Keponakan?" Suara Jordan membuatku menoleh.

Speaking of him, aku sengaja mengajak Jordan ikut ke sini, karena takut dia menunggu terlalu lama di dalam mobil. Tiap ke rumah Oma, biasanya harus menunggu kejadian darurat untuk bisa cepat-cepat pergi. Biasalah, nenek dengan cucunya.

Sebenarnya, aku agak canggung mengajaknya ke sini. Meski sudah menyarankan Jordan pergi lebih dulu, dia tetap bilang akan mengantar dengan alasan, "Kan janjinya refreshing berdua sama lo."

Thesis Crush (✓) Sudah TerbitWhere stories live. Discover now