Sembilan

54.4K 9.2K 724
                                    




Malam ini aku bisa pulang lebih cepat karena tidak ada giat dan juga tugas lain. Percayalah pulang jam delapan malam itu sudah benar-benar sebuah mukjizat, biasanya aku baru sampai rumah pukul sebelas malam atau jam dua belas. Salah satu kebahagiaan pulang cepat adalah aku bisa makan malam bersama dengan mama. Malam ini, walaupun mama hanya memasakkan nasi goreng tetapi bagiku masakan mama yang paling enak. Aku bukannya tidak bisa memasak, tentu saja bisa, bukan mahir, tetapi lebih untuk bertahan hidup. Kami orang-orang dengan didikan militer tentu dilatih untuk itu.

"Gimana kerjaan kamu, Dil?" tanya Mama.

"Lancar, Ma. Ini ada satu lagi sih yang harus dipantau, cuma data dari informan belum lengkap jadi kami belum bisa gerak."

"Oh. Ehm... kamu berantem sama Dina ya?" tanya Mama.

Aku memandang mama, aku tahu Yuk Dina pasti mengadu pada mama tentang kejadian seminggu lalu. kalau tidak bagaimana mama bisa tahu. Kakakku itu sejak dulu selalu saja menginginkan pembelaan, bahkan sejak kecil selalu aku yang mengalah. Usia kami terpaut cukup jauh, Yuk Dina berusia 29 tahun sekarang, dia menikah saat lulus kuliah umur 22 tahun, anaknya sudah dua saat ini. Menurutku dia terlalu cepat mengambil keputusan untuk menikah, apalagi dengan laki-laki seperti suaminya itu. Entah apa yang dilihat Yuk Dina dari suaminya, apalagi saat menikah dulu, suaminya juga belum mendapat pekerjaan.

"Nggak juga sih. Biasa aja, Ma," jawabku.

"Kakak kamu itu lagi sensitif, suaminya kan baru di PHK. Jadi coba kamu jaga perasaan dia, Dil."

"Ya kenapa suaminya itu nggak cari kerjaan lain sih, Ma? Judi terus."

"Hush, jangan gitu nanti didenger kakakmu."

"Tapi kenyataannya kan memang gitu, Ma."

"Dila."

Aku menghela napas. Nafsu makanku langsung hilang karena pembahasan ini. "Mama yang paling tahu kalau Dila nggak bisa berpura-pura  suka sama orang. Yuk Dina yang mulai duluan bahas masalah yang sensitif ke Dila, Ma." Aku bangkit dari kursi sambil membawa piringku yang masih tersisa sedikit nasi, lebih baik aku kembali ke kamar dan melakukan apa saja asal tidak membahas hal yang membuat amarahku meledak.

Aku mencoba memejamkan mata untuk beristirahat lebih awal, kapan lagi bisa beristirahat seperti ini. Tetapi mataku tidak mau terpejam, akhirnya aku membuka-buka akun sosial mediaku. Dan rasa ingin tahuku mulai membawaku ke akun milik pacar Hilman, padahal aku sudah menyakinkan diri kalau aku dan Hilman tidak akan mungkin bersatu, dan sepertinya sejak awal aku juga tahu kalau aku hanya menaruh rasa kagum padanya. Karena sikapnya yang cuek yang menimbulkan kesan cool, pintar, baik dari segi pemikiran juga masalah keahlian fisik, di mataku dia sosok yang jika nanti aku memutuskan mencari pendamping hidup maka orang seperti itu yang aku cari. Aku tidak terlalu suka dengan orang yang banyak bercanda.

"Oh jadi dia lagi ada acara meet and greet," gumamku saat melihat unggahan Kanya di akunnya. Pantas saja minggu lalu Bang Hilman mengantarkannya ke Jakarta.

Aku memperhatikan foto-foto perempuan itu, dia jarang mengunggah foto wajahnya biasanya hanya foto buku-buku atau pun kutipan-kutipan galau yang banyak disukai oleh para perempuan yang mudah terbawa perasaan. Kalau dibandingkan dengan diriku, tentu saja perempuan ini jauh lebih cantik. Dia berpenampilan feminin dan modis, aku suka fashion-nya, tidak berlebihan, makeup-nya pun minimalis, mungkin karena wajahnya juga tidak perlu banyak dipermak. Seperti di foto ini dia mengenakan celana slim fit berwarna putih dipadukan dengan blus putih yang ditutupi dengan blazer berwarna blush.

Aku membuka IG TV yang diunggahnya, di mana dia sedang berbicara di depan para pembacanya, aku melihat bagaimana perempuan itu terlihat begitu confident saat berbicara di depan umum, tata bahasanya tertata dan dia tidak terlihat canggung berjalan ke sana kemari walau sedang mengenakan killer heels berwarna nude.

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang