Tujuh

51.9K 9.3K 550
                                    




"Dil, kamu kepikiran omongan tante-tante kamu ya, Nak?" tanya mamaku. Saat ini aku dan mama sedang dalam perjalanan pulang. Aku menoleh ke arah mama yang duduk di kursi penumpang di sampingku. "Omongan yang mana, Ma?" tanyaku bingung. Karena jujur saja aku tidak sedang memikirkan siapapun kecuali Hilman.

"Itu bahas pernikahan. Mama nggak mau kamu tertekan dengan omongan tente kamu ya, Nak. Mama nggak menuntut kamu untuk nikah cepet. Karena menikah itu harus dipikirkan matang-matang, kamu tahu kan, Nak?" ucap mamaku lagi.

"Oh, itu. Nggak kok. Dila nggak mikirin itu, Ma." Aku tahu sekali maksud ucapan mamaku itu. Tentu saja aku harus berhati-hati dalam hal pernikahan, setelah aku melihat sendiri bagaimana orang-orang yang aku sayangi harus terjebak dengan laki-laki yang hanya bisa menorehkan luka untuk mereka. Mama dan kakakku, harus adalah alasan terkuat aku tidak pernah memikirkan pernikahan selama ini.

Bahkan aku takut jatuh cinta, sampai aku bertemu dengan Hilman. Dan aku yakin perasaanku kepadanya pun tidak bisa dikategorikan cinta, aku hanya tertarik karena dia berbeda dari laki-laki kebanyakan, berbeda dengan rekan kerjaku yang lain, itu yang membuatku penasaran padanya. Orang yang memiliki fobia jatuh cinta memang bisa merasakan ketertarikan pada lawan jenis, namun tidak berani untuk menjalin hubungan serius, apalagi pernikahan.

"Baguslah. Mama mau kalau kamu ketemu dengan laki-laki yang kamu cintai, dia bisa bertanggung jawab. Pastikan dia baik ya, Nak. Kamu ngertilah maksud Mama."

Aku menoleh ke arah mama. Mata mama menerawang melihat ke depan, aku tahu mama tidak benar-benar memperhatikan jalan yang ada di depan kami. Mama pasti memikirkan laki-laki yang harus kupanggil papa. Aku mengembuskan napas pelan. "Iya, Ma," ucapku.

Tidak lama kemudian, ponsel mama berdering, aku melirik sekilas dan langsung tidak suka melihat nama yang menari-nari di layar ponsel itu. "Halo Pa?" sapa Mama.

"Iya, ini baru pulang, bareng Dila." Mama diam lalu menoleh ke arahku. "Oh, mungkin Dila lagi sibuk, beberapa hari ini juga dia harus ke luar kota terus. Ini baru dapet jatah libur, Pa," jelas Mama.

Tidak lama kemudian panggilan itu diakhiri dan mama mulai kembali berbicara padaku. "Kamu nggak angkat telepon papa kamu, Dil?"

"Neleponnya pas Dila lagi kerja, mana bisa angkat, Ma. Mama tahu sendiri kami kerja diawasi perwira," jawabku.

"Sesekali telepon balik papa kamu. Tadi dia marah..."

"Kenapa sih dia harus marah-marah terus, Ma? Kalau anaknya nggak mau ngomong sama dia, harusnya dia mikir dong kenapa."

"Dila Mama nggak suka kalau kamu udah kayak gini ya."

Aku merapatkan mulutku, menahan segala amarah yang saat ini memuncak. Aku benci laki-laki yang harus kupanggil papa itu, aku benci karena dia hanya bisa menyakiti mama. Aku benci karena laki-laki itu membuat mama menangis setiap malam. Aku benci dia.

*****

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabku. Aku sedang mencetak laporan hasil penyelidikan ketika Hilman datang, hanya ada aku dan dia di ruangan ini.

"Yang lain ke mana Dil?" tanyanya sambil membuka jaket hitamnya. Karena hari ini hari Senin aku dan dia mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek warna hitam dengan tulisan Narcotic Police dibagian punggung, dengan bordiran nama masing-masing di bagian dada.

"Belum pada dateng."

"Oh." Dia duduk di kursinya yang menyalakan laptopnya. "Siapa yang nembak TSK pas giat terakhir?" tanya Hilman.

"Bang Rendra sama Naufal. Bagian lapangan masih kejebak macet di Betung, jadi terpaksa kita turun lagi."

Dia memandangku. "Kamu ikut turun?

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang