Tiga

53.5K 8.1K 173
                                    

Aku mengidap Philophobia, atau itulah yang aku tahu sejak aku merasa takut jatuh cinta. Hal itu bukan tanpa alasan, aku punya trauma yang mendalam tentang cinta. Bukan aku yang mengalaminya, tetapi orang lain dan itu semua ikut melukaiku. Selama ini aku tidak pernah melihat pria yang benar-benar baik, semuanya menyimpan kejahatan terselubung. Itu yang membuatku tidak mau menjalin hubungan dengan makhluk dari planet Mars itu.

Apalagi sejak aku bergabung di tim ini yang isinya semua laki-laki. Kami bersepuluh dan hanya aku yang perempuan, tugasku mencari tahu keberadaan orang yang kami curigai membawa narkoba. Aku yang memegang alat berbentuk ponsel untuk melacak percakapan pengedar, itu kenapa aku sering ikut keluar kota bersama mereka, padahal sebenarnya bisa saja aku stand by di kantor dan memberi informasi via telepon. Hanya saja kami tidak
mau pergerakan kami terbaca orang lain, lagi pula alat yang aku pegang ini tidak bisa dipindah tangankan karena sudah menjadi tanggung jawabku.

Bekerja bersama para laki-laki tidak buruk juga. Mereka memang sering membahas hal-hal jorok namun jarang menggunjingkan orang lain seperti yang banyak dilakukan oleh para perempuan. Dan cara kerja mereka cepat, tidak bertele-tele, mereka cenderung menghindari perdebatan, kecuali Naufal yang tidak akan melewatkan perdebatan, apalagi denganku. Aku tidak tahu ada dendam apa dia padaku.

Hari ini, Pak Setyo membagikan jadwal piket pada kami. Namun aku tidak ada di dalamnya. Aku sempat protes, tetapi kalah suara. Harusnya aku juga diikutsertakan dalam jadwal. Aku ingin piket, karena besoknya aku bisa mendapat jatah libur dan tidak diganggu. "Bahaya kalau kamu jaga posko sendirian, kamu kan cewek," komentar Naufal yang sudah duduk di depan mejaku.

Aku memasang wajah tidak suka padanya. Sejak kapan dia menganggapku perempuan. "Dil, kamu punya pacar nggak?" tanya Yudi yang ikut duduk di samping Naufal.

"Heh? Dila punya pacar? Hahaha... ada gitu yang mau sama dia?" ejek Naufal.

Aku mengembuskan napas kasar, menahan emosi.

"Kamu ini, Fal. Awas nanti malah kamu yang tergila-gila sama Dila," ucap Bang Rendra. Malas menanggapi ucapan itu aku membuka laptopku dan mulai menulis laporan yang harus aku serahkan besok pada komandan. Bulan ini kami sedang dalam masa keemasan karena delapan dari sepuluh kasus yang kami tangani semuanya berhasil, membuat kami tidak harus mendengar omelan para petinggi. Walaupun tentu saja pekerjaan kami tidak berkurang sedikit pun. Minggu ini aku hanya mendapat jatah libur satu hari, itu pun di hari Selasa dan kupakai untuk tidur dari pagi hingga sore, bangun hanya untuk makan, salat, dan ke kamar mandi saja.

"Kamu udah pernah pacaran belum Dil? Umur kamu berapa? Dua empat ya?" tanya Bang Rendra.

Aku mengangguk. "Nggak niat pacaran Bang," jawabku pada Bang Rendra.

"Kenapa? Kerja udah nggak jelas waktunya, pacar nggak punya. Kasian juga ya kamu, Dil."

"Abang juga, kasian jarang pulang," balasku.

Bang Rendra tertawa. "Naufal tuh jomlo. Pacaran aja sama dia, tapi jangan ketahuan sama komandan. Kan nggak boleh." Memang ada larangan untuk menjalin hubungan antar sesama anggota tim, agar kekompakan tetap terjaga dan tidak ada konflik internal. Namun tidak  dengan Naufal juga, aku masih waras, kalau pun ada yang ingin kujadikan pacar atau suami ya pasti Hilman. Walaupun sepertinya butuh waktu juga untukku meyakinkan diri agar berani berhubungan dengan lawan jenis.

"Ogah!" tolakku.

"Aku juga ogah sama kamu!" sahut Naufal. "Yud, sebat yuk," katanya mengajak Yudi. Aku bersyukur keduanya keluar dari ruangan ini. menyisakan aku dan Bang Rendra yang sibuk dengan laptop masing-masing.

"Bang Hilman kayaknya udah punya pacar deh, Bang," kataku membuka percakapan. Sebenarnya ini adalah introgasi terselubung.

Bang Rendra menatapku, aku jadi deg-degan, jangan bilang dia tahu kalau aku menyukai Bang Hilman. "Kamu juga mikir gitu, kan?"

"Eh?"

"Kayaknya sih emang iya. Malem Minggu kemarin Abang piket, terus ada titipan komandan buat Hilman, ya udah Abang telepon dia, terus dia ke sini, diajak ngobrol agak lama dia nggak mau, katanya ada yang nunggu di mobil."

"Pacarnya?" tebakku. Jadi benar tebakanku. Kalau sudah diajak sampai ke posko kami, artinya perempuan itu bukan orang semabarangan untuknya.

"Kayaknya ya. Baguslah kalau dia punya pacar, kapan lagi mau nikah, udah tua gitu."

"Umur sih tua, kalau tampang kayaknya masih kelihatan tuaan si Naufal," balasku.

Bang Rendra tertawa. "Naufal tuh manis, Dil. Cuma anaknya tengil aja tapi dia asik. Kalau Hilman, itu anak memang dari dulu begitu, kalau libur kerjaannya paling tidur. Hidupnya terlalu lurus. Monoton, kurang asik."

Lagi-lagi kalimat itu yang diucapkan Bang Rendra. Tetapi mencari orang seperti Hilman ini memang susah di zaman sekarang. Aku jadi penasaran siapa yang akan menaklukan hatinya.

"Nah panjang umur."

Aku menoleh ke arah pintu mendengar ucapan Bang Rendra itu.  Ada Hilman yang baru saja datang. Dia menaruh jaketnya di dalam lemari lalu duduk di kursinya. "Ngomongin apa?"

"Ngomongin kamu, katanya udah punya pacar," jawab Bang Rendra jujur.

Hilman tertawa. "Gosip aja." Dia membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah buku dengan kover warna pink. Really?

"Buku apa Bang?" tanyaku.

"Oh ini? Novel," jawabnya. Aku menyipitkan mata agar bisa melihat buku itu dengan jelas. Ada illustrasi dua orang yang sedang duduk di bawah pohon sambil berpegangan tangan. Sejak kapan dia membaca buku girly seperti ini. Aku saja tidak berminat sama sekali dengan novel-novel percintaan seperti itu. "Tumben banget Abang baca novel. Cewek banget lagi."

Dia hanya tertawa kemudian memasukkan novel itu ke dalam laci kerjanya. Aku jadi penasaran sekali. Tapi sayang judulnya tidak terbaca.

Tidak lama kemudian, komandan kami masuk ke posko dan menanyakan perkembangan kasus yang harus kami tangani. Aku dan yang lain langsung melaporkan perkembangannya.

"Bagus, malam ini kita mulai bergerak. Dila dan Naufal jaga posko. Yang lain ke lapangan."

"SIAP KOMANDAN!"

Aku melirik Naufal yang memasang cengiran menyebalkannya padaku. Kenapa harus aku dan dia yang berjaga di sini!!!

****

"Dila, mau makan nggak?" tanya Naufal yang sedang berdiri di depan mejaku. Anggota timku yang lain baru saja pergi sejam yang lalu, menyisakan aku dan dia di sini.

"Nggak laper."

"Yaelah, kamu kan makan siang aja. Makan malem belum. Nanti maag, lho."

Aku menatapnya. Kenapa dia jadi sok peduli begini sih. "Nggak ah, kalau mau beli makan, beli sendiri aja."

Dia berdecak. "Ya udah deh, serah." Naufal keluar dari ruangan ini, meninggalkanku sendiri. Aku mengecek alatku, belum ada percakapan apapun di sana, aku langsung menghubungi Bang Hilman untuk memberikan informasi ini. Setelah mendapat respon 'oke' darinya, aku jadi teringat sesuatu, kalau tidak salah tadi pagi dia menaruh buku yang dibacanya di dalam laci. Perlahan aku bangkit dari kursiku dan mendekati mejanya. Aku membuka laci meja kerjanya, dan benar buku itu ada di sana.

Aku membaca judul yang tertulis di sana. "Pelangiku".  Karena penasaran aku membaca bagian belakang buku itu. Ini benar-benar novel perempuan dan untuk apa Hilman membaca buku semacam ini. Aku meneliti buku itu, bagian pembatasnya ada di tengah-tengah, apa itu artinya Hilman sudah menghabiskan hampir setengah isi buku ini. Tetapi kenapa dia membacanya? Tidak mungkin ada petunjuk tentang pengedar kan di buku ini?

Aku membuka-buka halaman belakangnya. Ada bagian tentang pengarang di sana. Aku membaca dengan cepat bagian itu.

Kanya Maisa Putri, penulis kelahiran kota Palembang ini sudah menelurkan sepuluh buku, Pelangiku adalah buku ke sepuluhnya yang terbit.

Jadi penulisnya orang Palembang? Apa mungkin... Aku mencari informasi lainnya di sana.

Untuk tahu keseharian penulis bisa diintip di akun Instagramnya di Kanya_Maisa...

Aku langsung meletakkan buku itu kembali ke dalam laci, kemudian kembali ke kursiku, mencabut ponselku yang sedang aku charge dan mulai membuka akun penulis bernama Kanya Maisa Putri itu.

*****

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang