Lima

54.7K 9K 433
                                    


Lagi-lagi kami harus memantau hingga keluar kota, namun kalau biasanya aku merasa senang karena bisa menghabiskan waktu dengan Hilman, tidak dengan giat malam ini. Kami hanya berenam, aku, Bang Rendra, Yudi, Naufal, Bang Pati dan Komandan kami Pak Samudra, sebenarnya dia seumuran dengan Bang Rendra, bahkan lebih muda tetapi karena nasibnya lebih beruntung diterima di Akpol, pangkatnya lebih tinggi dari Bang Rendra. Hilman lepas dinas hari ini, entah apa yang sedang dikerjakannya, biasanya sih ketika kutanya dia bilang dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk tidur.

Sejak bertugas di unit narkoba, aku mengalami insomnia, karena terlalu sering begadang untuk memantau target, dan tidak hanya aku yang mengalami itu, teman-temnaku yang lain pun mengalami hal yang sama. Kami lebih banyak bekerja malam hari, karena bandar biasanya bertransaksi di malam hari.

"Kalau belum ada pergerakan sampai jam dua pagi, kita ke penginapan," ucap Pak Samudra. Aku dan yang lain mendesah lega. Pak Samudra itu orang yang kaku dan terlalu saklek, berbeda dengan Pak Setya yang lebih asik dan mengerti kondisi kami yang seharian harus berkutat dengan alat-alat pelacak ini. Dulu aku merasa pekerjaan melacak orang adalah hal yang menyenangkan, tetapi setelah aku masuk ke tim ini, rasanya aku menjadi jauh lebih emosian dari sebelumnya.

Bayangkan saja jika target yang kami incar berhari-hari lepas begitu saja, atau tidak jadi melakukan transaksi, rasanya benar-benar frustrasi. Belum lagi mata ini terasa begitu lelah harus melihat layar laptop berjam-jam. Semenjak di unit ini, aku terpaksa harus mengenakan kacamata karena ternyata mataku sudah terkena minus. Pekerjaan memantau sesungguhnya lebih melelahkan dari buru sergap. Mereka tinggal datang ketika mendapat informasi keberadaan target dan menangkap mereka, sedangkan kami harus berkuat berhari-hari untuk melacak keberadaan target.

Aku bukan ingin mengeluh, karena bagaimana pun inilah risiko pekerjaanku. Tetapi sebagai seorang manusia ada kalanya aku merasa lelah, dan jenuh. Ingin pindah ke bagian yang lain, belum ada tempat yang kosong. Jadi aku hanya bisa menikmati saja pekerjaanku sekarang.

Aku memejamkan mata sejenak, kepalaku terasa pusing sekali, perjalanan yang kami tempuh dari Palembang menuju Sekayu tidak mudah, harus melewati jalan penuh lubang dan kemacetan parah. Untungnya aku tidak muntah seperti perjalanan ke Muara Dua minggu lalu. "Minum Dil," ucap Naufal sambil mengulurkan air mineral padaku.

Aku meliriknya lalu mengambil botol air mineral itu. "Makasih."

"Tidur aja dulu kalau pusing," ucapnya lagi.

"Hm," jawabku kemudian memejamkan mata kembali setelah menegak air mineral itu.

"Telepon Bang Hilman ajalah, nggak ngerti ini gimana," ucap Yudi yang duduk di bangku depan. Aku membuka mata kembali saat mendengar ucapan Yudi itu, mataku mencari-cari Pak Samudra yang ternyata tidak ada di dalam mobil. Mungkin dia sedang merokok. Aku memasang telinga saat Yudi memutuskan benar-benar menelepon Hilman. Dia ingin menanyakan bagaimana cara membaca kode-kode yang ada di laptopnya, yang paling mengerti ini tentu Bang Hilman karena dia yang paling lama di bagian ini.

"Terus tekan apa Bang?" Hah? Oh, iya-iya. Ini bisa sih. Thank you ya. Eh Abang lagi di mana?" tanya Yudi. "Hahaha, jadi nih nonton film itu? Kirain lagi tidur di rumah. Ya udah Bang." Kemudian telepon itu diakhiri.

"Lagi di mana si Bangkai?" tanya Bang Rendra.

"Nonton Fantastic Beats," jawab Yudi.

"Oh. Niat banget dia,  pas di hotel waktu itu dia malah nonton bagian pertama, padahal kita belum istirahat seharian."

"Masa?" tanyaku.

"Iya, abis nonton dia baru tidur. Katanya biar ngerti kalau nonton yang kedua. Itu aja mau lanjut nonton Harry Potter katanya, biar tahu ceritanya. Manusia aneh padahal malemnya kita kan begadang sampe pagi."

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang