10. Solitude

289 28 1
                                    

Tidak ada ada yang lebih indah dari Weekend. Banyak hal yang bisa aku lakukan. jogging di Suburban. Pergi ke Gym sendirian. Membaca puisi Shakespeare di balkon rumah. Juga memakan taco sambil diiringi oleh musik Jarabe Tapatio.

Bukankah itu semua yang diharapakan semua orang disaat Weekend? Atau hanya aku saja?

Di dalam rumah, ayah sedang duduk di kursi sambil membaca koran. Klasik. Aku tidak tahu kalau itu masih dilakukan orang tua lainnya di luar sana. Terlebih ayah membaca surat kabar di sore hari.

"Ayah benar akan pindah ke Washington bersama ibu?"

"Ayah dan ibu bukan pindah Sam, pekerjaan ayah yang paksa ayah pergi."

Aku mengerti, aku juga tidak bisa menuntut banyak, ini bukan urusanku.

"Kapan jadinya ayah berangkat? Ibu bilang Sabtu besok."

"Ya, kita akan berangkat besok."

Ayah melipat korannya dan menyuruhku duduk di sofa.

"Kamu sudah dewasa, ayah dulu bahkan pergi dari rumah waktu ayah umur enam belas tahun. Lagipula, kamu juga akan merasakan enaknya hidup sendirian. Ayah juga tahu kamu sudah terbiasa mandiri. Jadi ayah tidak khawatir dengan keputusan ini."

Tidak ada reaksi lebih dariku selain anggukan kecil.

Aku berdiri dari kursi dan pergi menuju kamar. Aku lihat koper sudah menumpuk di dekat pintu kamar ayah ibuku.

Ini tidak akan buruk. Lagi pula, aku bertemu dengan orang tuaku hanya saat makan malam dan hari libur. Walau momen itu bisa aku hitung dengan jari. Ayah selalu lembur dan ibu selalu menghadiri rapat departemen bahkan di hari libur. Seperti hari ini. Ibu sedang tidak ada di rumah.

***

Saturday.

Aku berpamitan dengan kedua orang tuaku di bandara, ibu memelukku erat. Ia bilang kalau mereka akan tetap mengusahakan untuk datang menengokku jika ada waktu.

"Ada pesta malam ini," ucapku pada ayah saat ibu sedang mengecek barang-barang di tas kecilnya.

"Ayah beri tahu kamu sekarang, rasa alkohol itu seperti ketiak," bisik ayahku membuat lelucon seperti biasanya.

Aku tersenyum. Itu lumayan lucu.

Pengumuman sudah terdengar dari pengeras suara.

"Jangan sampai pingsan malam ini dan usahakan jadi juara di beerpong," ayah berjalan pergi bersama ibu menuju waiting room.

Masa ini datang, saat aku harus mulai terbiasa menikmati kesendirian, aku sudah berteman dengan rasa sepi sejak kecil tapi berhadapan dengan ini secara langsung dengan situasi yang berbeda membuatku harus menyesuaikan diri lagi. Ayah, kamu lupa janji broadwaymu lagi.

Aku keluar dari parkiran bandara yang padat dan bergelut dengan kemacetan. Tidak lama aku lihat pesawat melintas di langit, itu mungkin bukan pesawat yang orangtuaku tumpangi tapi aku bisa merasakan sebuah tanda perpisahan. Belum sejam aku berpisah dengan mereka namun aku sudah merasa kosong. Bukan karena kepergian mereka, tapi karena kebingunganku sejak kecil. Sebenarnya apa yang mereka cari?

Aku tidak pernah menyadari betapa besarnya rumahku sampai aku tinggal sendirian. Rasa lelah dan malas datang menghampiriku seusai perjalanan jauh dan terik, siang ini sangat cocok untuk aku pakai tidur siang.

***

Aku terbangun karena suara dari ponsel yang berdering keras dekat di telinga. Aku angkat telepon itu.

The Way You Look At MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang