SATU

64 13 3
                                    

"Ma, Gavin pergi duluan, ya. Ada mata kuliah pagi soalnya."

Menyerobot sehelai roti yang belum teroleskan apapun, Gavin mengecup pipi sang ibu secara bergantian.

"Terus Ela gimana? Masa mau ditinggalin?"

Gavin melambaikan tangan beberapa kali.

"Pandai-pandai dianya aja yang hidup. Bukankah dia sendiri sering bilang, 'Hidup ini keras, Bung!'" Gavin menirukan gerik dan ucapan Graciella yang sudah dihapalnya. Ungkapan kebijaksanaan yang terdengar kontras dengan keseharian Graciella.

"Tapi Ela kan juga ada—"

"Bye, Ma!"

Mendesah napas panjang, Nyonya Mananta gagal menahan kepergian Gavin. Begitulah Gavin kalau ada kaitannya dengan Ela—panggilan akrab Graciella.

Sekarang hanya tinggal menunggu suara lengkingan Graciella, putri sulungnya menggema di rumah ini.

Suara ketukan pintu di depan rumahnya membuat pikiran wanita matang teralihkan untuk sesaat.

"Rafa ... masuk!" Sambutan hangat disuguhkan begitu melihat sosok akrab yang mendatangi rumahnya.

"Ah ... terima kasih, Tante."

Senyum terbentuk hangat. Pria dengan senyum malu-malu yang menyambangi kediaman rumah mereka. Meskipun ini bukan terhitung pertama kalinya pemuda tersebut bertemu dengan pemilik rumah, Nyonya Mananta. Juga bukan sehari, dua hari, melainkan hitungan tahun. Tetap saja rasa segan membuatnya kesulitan bercengkerama akrab.

"GAVIN!"

Dari lantai atas, suara nyaring itu mengisi setiap sudut ruang rumah. Nyonya Mananta tersenyum kikuk. Sungguh ia malu dengan perilaku putrinya yang tak pernah kenal tempat untuk berteriak.

Suara derap kaki yang berantakan; menuruni tangga, dengan lekas menghadirkan Graciella yang masih mengenakan roll rambut di poni depannya. Beberapa sapuan foundation yang belum tersapu rata membuat Rafael dan Nyonya Mananta mengerjapkan mata beberapa kali—malu.

"Di mana Gavin, Ma? Bocah tengil itu pasti ambil charge HP aku lagi. Padahal tadi HP aku masih di-charge karena low-bat. Dia itu ya, selalu aja buat kesal. Bisa ga sih Ma dia itu dimasukkin aja ke militer gitu kayak yang ada di Korea Selatan sana. Umurnya dia itu udah pantas masuk wamil. Sekali aja, biar dia tuh berubah lebih ... hmmpt!"

Mulut Graciella terkatup saat tangan sang ibu terpaksa membekapnya. Tulisan cerita ini sayang dihabiskan untuk mendengarkan celotehan Graciella yang tidak bakal habis layaknya sepanjang jalan kenangan.

"Lihat! Rafa udah datang. Bukannya kamu ada kuliah bareng?"

Rafael melambaikan tangannya; menyapa Graciella yang baru menyadari kehadiran sahabatnya.

"Kapan datang?" tanyanya polos.

"Hm ... belum lama kok. Mulai dari lu teriakin nama Gavin. Ga lama, kan?"

Graciella mendengus. Sindiran itu ditujukan untuknya. Walau Rafa selalu mengucapkan kalimatnya dengan nada biasa—lembut—tapi pria itu selalu suka menyindirnya.

"Ngobrol dong kalau dari tadi. Gue kan juga bisa lebih cepatan siap-siapnya. Bentar, ya."

Rafa tersenyum seraya mengangguk.

"Gavin mana, Ma? Kok ga kelihatan?" Sebuah tanya kini dialihkan pada ibunya.

"Gavin bilang dia ada kuliah pagi. Jadi harus pergi duluan."

"Awas ya lu, Vin. Jangan bilang gue hobi makan ayam penyet kalau engga ada gunanya. Gue pastiin tuh bocah juga bakal dipenyet!" Ela mendengus lalu melengos.

THE PERFECT MATCH Where stories live. Discover now