Opening

113 17 5
                                    

"Ma ...! Gavin mencuri uang dari celengan piggy aku!"

"Dia aja yang naruhnya sembarangan. Kan iman jadi goyah, Ma!"

"Ma ...! Pokoknya karungin si Gavin sekarang, Ma! Intinya dia udah ngelanggar pakta garis perjanjian."

Kericuhan yang sama selalu menghiasi ruang belakang—dapur—keluarga Mananta. Kedua saudara—putra dan putri—yang sulit akur hanya menghadirkan senyum di wajah wanita dewasa yang sudah merasa terbiasa.

"Ma ...!" Menghentakkan kakinya seraya merengut, yang perempuan tak terima saat lidah itu terjulur—mengejeknya.

"Gavin! Kembalikan gih uang yang sudah kamu ambil," suruh si ibu dengan nada suara yang lembut.

Sementara sang ibu bergerak dan lekas kembali sembari membawakan sepiring roti bakar yang sudah dipersiapkannya.

"Dasar pelit, lu! Makanya kalau engga mau ditilap, pake deposito dong! Zaman canggih percayanya sama celengan ba** yang pipinya kembaran sama yang punya."

Bodoh. Tuli. Abai. Yang diejek membiarkan angin menyapu sindiran sang adik. Meladeninya juga tidak berfaedah. Menaikkan tensi dan merusak suasana hatinya lebih dalam, itu nantinya akan menjadi efek samping kalau terlalu diambil hati.

"Kalian ini kapan dewasanya, sih? Yang satu hobinya teriak. Yang satu lagi hobinya ngomporin. Sehari saja ... bisa engga kalian damai?"

"Tidak!" Keduanya serempak menjawab—tak ragu.

"Ya engga mungkinlah, Ma. Wong orang yang mau diajak damai bawaannya kayak bom molotov gitu. Seram kali, Ma." Lagi, pria yang dipanggil Gavin seakan tidak puas tidak mencerca saudarinya sendiri.

"Emang lu kata gue juga sudi baikan sama, lu? Yang ada ayan deh gue!" Bibir mungil itu tersungging. Menampilkan dengusan yang tak usai.

Hanya menggelengkan kepalanya pasrah, perempuan matang itu terlanjur kehabisan kata.

Setidaknya keduanya diberi kesehatan, itu sudah lebih dari cukup. Bukankah begitu doa sederhana seorang ibu? Meskipun kini hanya ada dirinya sendiri yang membesarkan keduanya.

Kehilangan suaminya sepuluh tahun lalu, tidak lantas menyurutkan langkahnya untuk berdiri dan melanjutkan perjalanan hidupnya.

Sebuah perjalanan panjang yang penuh tawa, peluh, tatih, kebangaan, maupun lara. Menjadi single parent merupakan tanggung jawab yang embannya. Menjalankan dua peran sekaligus untuk memberikan pengajaran pada putra-putrinya yang berpaut jarak tak terlalu jauh.

Sekarang, melihat putra dan putrinya bisa tumbuh dengan baik, berhasil membuatnya mengukir sebuah senyum.

Akhir kata, selamat datang di Keluarga Mananta.

Akhir kata, selamat datang di Keluarga Mananta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THE PERFECT MATCH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang