Sabtu Bersama Hyunjin

591 32 18
                                    

Tak terasa seminggu sudah berlalu, besok adalah hari pernikahanku. Jantungku berdegup sangat kencang.

Selama seminggu ini aku tak diperbolehkan keluar rumah sama sekali, dan aku sedang melakukan diet ketat agar berat badanku tak bertambah. Kegiatanku di rumah hanya makan, tidur, olahraga, dan main ponsel--itupun aku selalu diawasi oleh ibuku. Persiapan pernikahan juga dilakukan oleh wedding organizer, jadi aku terima jadi saja besok.

Ting tong

Aku beranjak dengan malas begitu mendengar bel berdering. Aku menghampiri gerbang dengan mata setengah terbuka karena silaunya matahari saat itu.

"Heh, besok mau menikah kenapa tidak merawat diri?" Begitu aku membuka gerbang aku langsung menerima omelan dari Hyunjin.

Aku menutup telingaku. "Berhentilah mengomel seperti nenek-nenek, Hyunjin. Aku pusing."

Hyunjin langsung menarikku masuk ke dalam rumah. Disambut ibuku yang penuh senyum, memang ibuku bersikap tenang seperti ini hanya di depan tamu saja, padahal sebenarnya ibu tidak jauh beda dariku.

"Kau tidak seharusnya meluangkan waktu istirahat makam siangmu yang berharga untuk gadis seperti Seolji, Hyunjin-a."

Hyunjin tersenyum tipis. "Tidak apa eomoni, siapa yang akan merawat anak ini jika bukan aku? Dia dilarang bertemu dengan calon suaminya."

Ibu mengusak lembut kepala Hyunjin. "Eomma harus mengerjakan pekerjaan yang lain, baik-baik dengan Hyunjin atau kuhajar kau, Seolji."

Ancaman ibu membuat bola mataku memutar malas. "Sebenarnya yang anak eomma itu aku atau Hyunjin?"

Ibu tampak berpikir-pikir. "Kalau bisa menukarmu Hyunjin, aku akan menukarkanmu. Tapi kasihan juga pada Nyonya Hwang jika memiliki putri yang absurd sepertimu."

Aku berdecak sebal. "Eomma senang sekali menistakanku."

"Terimalah kenyataan bahwa aku lebih baik daripada dirimu," Hyunjin bersandar pada sofa yang didudukinya.

Aku menatapnya kesal. "Untuk apa kau kemari? Kau tak boleh kemari kalau tak membawa makanan," ucapku sebal.

Hyunjin tersenyum lebar. "Aku sudah tahu, makanya aku membawa ini," Hyunjin mengangkat tas platik putih berisi box ayam goreng kesukaanku.

Aku langsung merampas plastik itu dan memeluknya erat-erat. "Aku sayang kamu."

Hyunjin maju untuk memelukku, tapi kuhentikan sebelum lengannya sempat melingkari tubuhku. "Aku sayang ayam goreng, Hyunjin. Bukan kau."

Aku membuka box berwarna oranye-hitam itu dengan semangat. Di dalamnya terdapat banyak potongan ayam krispi yang dibalur dengan bumbu cheetos kesukaanku. Aku mengambil paha ayam dan mengunyahnya dengan semangat.

Begitu menelannya, suara surga seolah terdengar di telingaku. Sumpah, ayam ini enak sekali! Entah sudah potongan keberapa aku makan, sekarang box itu sudah setengah kosong. Dan aku baru saja sadar kalau Hyunjin masih di sebelahku sambil tersenyum.

"Sudah berapa lama kau tidak makan ha?" Tanya Hyunjin sangsi saat melihatku makan dengan lahap.

Aku menelan ayam yang baru saja kukunyah. "Sudah lama aku tidak makan ayam, kau tahu sendirikan seminggu ini aku dipaksa makan sayuran?"

Hyunjin terkekeh. "Aku tahu, maka dari itu aku membawa ayam. Kurang pengertian apa lagi aku ini?"

"Ya, ya, kau temanku yang paling pengertian."

"Tetaplah bersamaku, jadi teman hidupku. Berdua kita hadapi dunia," suara Hyunjin mengalun lembut.

Aku berdecak. "Lagu apa itu?"

"Lagu Indonesia, aku tak sengaja mendengarnya saat sepupuku yang dari Indonesia memutarnya di kamarku. Lagunya bagus, aku berencana bernyanyi itu untuk konten videoku."

Aku hanya diam. Kukira Hyunjin menyanyikannya untukku. Aku tetap mengunyah ayam itu dengan tenang.

"Aku memang menyanyikannya untukmu."

Kunyahanku berhenti. "Jangan konyol, Hyunjin."

"Aku hanya bernyanyi, tidak memintamu menjadi teman hidupku," Hyunjin tergelak dalam tawanya menertawaiku.

"Bukannya lagu itu curahan hati sang penyanyi?" Balasku setenang mungkin.

Hyunjin mengangguk mantap. "Memang, lirik lagu itu pas untukku. Aku hanya bernyanyi untukmu. Bukan memintamu menjadi teman hidupku."

Aku menatapnya serius. "Kau harus berjanji menyanyikan lagu itu untuk istrimu, Hyunjin."

Hyunjin mengangguk mantap. "Tentu saja."

"Tapi, bisakah kau melanjutkan nyanyianmu? Sepertinya lagunya bagus."

"Hanya jika kau menjadi istriku."

Aku mencebikkan bibir. "Tidak usah bernyanyi kalau begitu."

Hyunjin mengacak rambutku. "Kau sebegitu tidak ingin menikah denganku ya?"

"Bukan begitu. Aku sudah pernah ada di posisi ini sebelumnya, dengan orang yang sama. Dan menurutku aku harus melepaskanmu sekalipun aku tidak ingin, memintamu berada di dekatku itu sama saja menyakitimu sekalipun aku adalah bahagiamu, Hyunjin," aku memberi jeda sejenak setelah Guanlin dengan seenaknya melintas di kepalaku. "Aku sudah menyia-nyiakan dua orang lelaki yang sayang padaku, tapi orang yang akan kunikahi juga sayang padaku, dan aku mengetahuinya lebih awal. Tidak sepertimu atau sepertinya."

Hyunjin mencubit pipiku. "Aku kesini untuk menambah stok kebahagiaanmu, bukan menambah kesedihanmu! Tersenyumlah! Besok kau menikah, kau tidak ingin ada kerutan di pipimu karena cemberut bukan?"

Aku tersenyum lebar. "Terima kasih, Hyunjin telah memberiku kebahagiaan walaupun kau tahu aku tak dapat memberi hal yang sama."

Hyunjin memelukku erat. "Tentu saja, aku hanya ingin melihatmu bahagia."

Begitu Hyunjin pergi dari rumahku, aku sadar bahwa aku sudah menyia-nyiakan orang yang sayang padaku. Guanlin dan Hyunjin itu sama, rela berkorban untukku.

~To be continue~

My Unexpected Wedding Where stories live. Discover now