Bab 1 Pernikahan atau Bisnis?

1.5K 22 0
                                    


INTRIK

Oleh: Triana Kumalasari

BAB 1

Pernikahan atau Bisnis?

.

.

Dingin.

Seperti itulah tatapan orang ini kepadanya. Orang yang baru saja berstatus sebagai suaminya. Farah menghela napas tertahan, meremas jemari.

Jadi lelaki itu tak menginginkan pernikahan ini, begitu? Sama. Farah pun juga tak menginginkannya. Kalau bukan karena papanya memaksanya, ia juga tak ingin menikah dengan lelaki asing yang bahkan tak sedikit pun ada di hatinya.

Wanita 25 tahun itu berdiri di tengah ruangan, mengedarkan pandangan menyapu ruang tamu rumah dua lantai yang didominasi warna putih dan abu-abu itu dengan canggung. Pesta pernikahan di Hotel Mahardika telah berakhir. Namun, pesta megah tersebut dijalaninya dengan hambar. Dan, tampaknya lelaki di hadapannya ini merasakan hal yang sama.

Leo Wira Atmaja, nama lelaki itu, membuka jas pengantin mewahnya yang berwarna putih dengan bordiran silver, dan melemparkannya begitu saja ke sofa. Satu set sofa cokelat lengkap dengan meja kaca di tengahnya menjadi pengisi utama ruang tamu bernuansa putih ini. Leo berbalik dan menatap ke arahnya. "Sepertinya kau juga tak menghendaki pernikahan ini?"

Farah terkejut sesaat atas pertanyaan yang begitu to the point. Wanita itu sedikit tergagap. "Emm, entahlah. Mungkin ...."

Bukan "mungkin", tetapi 'jelas iya'. Namun, Farah tak yakin hal itu cukup bijaksana untuk diungkapkan. Papanya meletakkan harapan di pundaknya.

Leo duduk di sofa cokelat, dengan punggung bersandar dan lengan terlipat di depan dada. "Apa yang membuatmu setuju menikah denganku?"

"Papaku." Farah menjawab lugas, dengan intonasi datar.

"Aah ...." Leo mengangguk-angguk. "Kerja sama itu. Kudengar papamu meminta kakak laki-lakimu untuk menjadi manajer di perusahaan kami sebagai ganti pernikahan ini."

Farah terdiam, mengatupkan bibir. Sayangnya, itu benar. Wanita itu mendesah. Dalam benaknya, berkecamuk sebuah tanya. Pernikahan macam apakah sebenarnya ini?

"Pak Atmaja menyetujui syarat Papa untuk menempatkan kakakmu, Fahri, sebagai manajer proyek di PT Atmaja Building, Farah." Demikian yang dikatakan Pak Dinata, papanya, ketika membujuknya untuk menerima lamaran keluarga Atmaja dua bulan lalu. "Ini akan bagus sekali untuk karier Fahri."

"Tapi, Pa. Farah bahkan tidak mengenal lelaki itu sama sekali," protes Farah, kala itu. "Mana mungkin Farah mendadak menikah dengannya. Siapa tadi namanya? Leon?"

"Leo." Pak Dinata membetulkan. "Leo Wira Atmaja. Dia putra tunggal Pak Atmaja. Otomatis Leo akan mewarisi seluruh saham milik papinya." Papa Farah terlihat bersemangat. Mata tuanya tampak menyala oleh ambisi di balik kacamata persegi yang dikenakannya.

"Apakah dia baik, Pa?"

"Tentu saja," sergah Pak Dinata segera. "Pendidikannya sangat bagus. Lulusan Teknik Sipil ITB dan sudah mengantongi MBA di Amerika." Senyum cemerlang menghias wajah papa Farah.

Farah menghela napas pelan. "Bukan itu, Pa. Bagaimana dengan sifatnya? Apakah dia baik? Lalu agamanya? Apakah dia lelaki yang saleh?"

"Ah, itu ...." Pak Dinata tampak ragu. "Entahlah. Papa belum lama mengenalnya. Baru bertemu satu kali. Tapi pasti baiklah. Anak keluarga terhormat."

Kening Farah berkerut. Kecemasan menggurat di wajah manisnya. Jemarinya saling meremas. "Maaf, Pa ... Farah rasa, Farah tidak bisa ...."

Pak Dinata langsung bangkit dari duduknya, tanpa sengaja menyenggol gelas teh yang ada di meja. Gelas itu terguncang dan menumpahkan sedikit isinya, membasahi kertas kontrak yang sedang dipelajarinya. "Apanya yang tidak bisa? Tentu saja harus bisa, Farah. Selain menyetujui penempatan Fahri di perusahaan mereka, Pak Atmaja bahkan menerima syarat Papa untuk menjadikan CV kita sebagai satu-satunya pemasok material bahan bangunan untuk proyek-proyek PT Atmaja Building. Kesempatan langka ini, Nak. Jangan kau hancurkan. Ini masa depan perusahaan dan keluarga kita."

Dan, untuk semua itu, akulah yang dijual? batin Farah, menunduk perlahan. Sebutir benda bening bergulir di sudut matanya.

"Dan bukan cuma kakakmu jadi manajer di perusahaan kami saja." Suara bariton itu menarik Farah dari memori dua bulan lalu di ruang kerja Pak Dinata, kembali ke ruang tamu bernuansa putih abu-abu. "Kudengar papamu juga meminta CV kalian dijadikan satu-satunya pemasok di setiap proyek kami." Mata cokelat itu menatapnya tajam, menuduh. Atau, sekaligus merendahkan?

Farah melengos. Tak ada yang bisa ia katakan, karena itu memang benar. Namun ... asal lelaki ini tahu saja, ia pun juga korban.

Suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang lelaki berkumis masuk bersama seorang perempuan paruh baya berjilbab biru tua dan perempuan muda dengan rambut diikat satu di dekat tengkuk.

Lelaki berkumis itu mengangguk sopan kepada Leo, lalu menoleh ke arah Farah dan mengangguk sekilas. Farah buru-buru membalas anggukannya.

Lelaki berkumis ini sering Farah lihat bersama Pak Atmaja. Tampaknya orang kepercayaan beliau. Ia menaksir usia pria tersebut berada di kepala empat. Sedangkan perempuan berjilbab biru itu seingat Farah adalah ART di rumah keluarga Atmaja yang biasa dipanggil Bik Maimunah. Si Bibik mengangguk kepadanya sembari tersenyum.

"Mas Leo, ini Parti." Lelaki itu menggerakkan tangan memperkenalkan perempuan muda yang datang bersamanya. "Bu Atmaja meminta Bik Maimunah mencarikan pembantu untuk mengurus keperluan di rumah ini. Parti ini tetangga Bik Maimunah di kampung. Usianya delapan belas, lulusan SMP, dan katanya sangat membutuhkan pekerjaan."

Leo mengangguk tipis. "Oke. Terima kasih, Pak Rozaq, Bibik."

"Iya, Den," jawab Bik Maimunah. "Kalau begitu, ayo, Parti, saya tunjukkan kamar asisten rumah tangga dan juga dapur." Bik Maimunah berkata kepada sang pembantu baru.

Pak Rozaq pamit bersama Bik Maimunah dan Parti, lalu kebekuan kembali menyergap ruangan itu.

"Kupikir sebaiknya kau tidur di kamar itu." Leo mengarahkan telunjuknya ke arah sebuah pintu yang tertutup. Daun pintunya berwarna putih gading.

"Baiklah." Farah menjawab pendek, lalu menarik kopernya yang beroda ke arah pintu itu. Baguslah. Ia pun merasa enggan bila harus satu kamar dengan Leo.

***

Parti menghidangkan makanan dengan agak canggung. Ia meletakkan mangkuk di meja agak tergesa hingga sayur di dalamnya beriak sejenak. Untunglah tak ada yang tepercik ke atas taplak putih.

Farah melirik ke arah sang pembantu. Tampaknya Parti belum cukup terlatih sebagai ART. Maklumlah, tanpa pengalaman kerja yang mumpuni dan ditambah dengan suasana kaku nan dingin di antara kedua majikannya semakin memperparah kegugupan gadis sederhana itu.

Meskipun orangnya kikuk, tetapi masakan yang ia hidangkan terasa hangat dan bagi Farah cukup dapat dinikmati. Namun, sayangnya tidak menurut Leo.

Lelaki itu mengerutkan hidung mancungnya. "Terlalu asin. Bukan seleraku." Didorongnya piring agak kasar. Kuah sup terguncang dan tepercik ke taplak meja, membentuk bulatan noda basah. Leo bangkit dan meninggalkan meja makan. "Aku pesan go food saja."

Farah menghentikan suapannya. Memandang pada piring Leo yang masih penuh. Wanita itu menoleh ke arah Parti yang kini berdiri menunduk di samping meja makan. Kesedihan dan ketakutan tergambar begitu jelas di wajah belianya yang sederhana.

Farah mendesah. Apa pula ini? Jangan-jangan ... mungkinkah tadi pagi dirinya menikahi bocah manja?

Pernikahan ... ataukah bisnis?

Dua hati yang tak saling mencinta, diikat oleh kepentingan perusahaan dalam gejolak bisnis yang senantiasa menggila.

.

.

BERSAMBUNG



INTRIK (SUDAH TERBIT) Where stories live. Discover now