Bag. 2 |💐 Sebuah Janji

1.4K 286 34
                                    

Zen meraih ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan chat dari Khaira.

Kesayangan
Kak, jadi lunch di rumah kan? Aku udah masakin sop dagingnya nih. Ssst! Kali ini pake resepnya Mommy, lho!"

Senyum Zen mengembang. Ia melirik arloginya sekilas, sebentar lagi jam makan siang. Zen memutuskan untuk menelepon saja.

"Waalaikumsalam, Ra. Iya, sayang. Aku pulang."

"..."

"Eh, tapi serius pakai resepnya Mommy?"

"..."

"Hahah.. nggak papa, pasti bakal kuhabiskan."

"..."

"Waalaikumsalam warohmatullah."

Zen menutup teleponnya lalu bergegas turun, kebetulan rumahnya berada tidak jauh dari perusahaan. Jadi tidak ada masalah baginya jika harus bolak balik pulang setiap jam makan siang.

Terlebih, setelah Khaira benar-benar full di rumah seperti sekarang. Kini istrinya itu menjadi lebih sensitif. Mudah sedih, dan ngambekan. Zen sadar. Ini semua tidak mudah bagi Khaira. Dia yang terbiasa sibuk itu mendadak harus stay di rumah saja.

Baru saja Zen mencapai parkiran dan hendak memasuki mobil. Langkahnya terhenti. Seperti ada yang memanggil.


"Zen!" seseorang wantia. Suara yang sangat ia kenal.

"Kath?" Zen mengernyitkan dahi. "Itu kamu?" Seru Zen tak percaya setelah menoleh kepada siempunya suara.

Ya, perempuan ini mamang Kath. Mantan pacarnya dulu. Tapi Kathlen yang berada di hadapannya ini beda, ia tidak seperti Kathlen yang dulu ia kenal.

Tak ada lagi rambut yang tergerai indah, baju tak berlengan atau hot pants. Perempuan yang ada di hadapannya kini telah menutupi tubuhnya sempurna. Sebuah pashmina putih gading dipadukan dengan gamis hitam polos. Terlihat anggun sekali.

"Iya, Zen. Ini aku. Seperti saranmu dulu. Aku masuk Islam. Aku menemui Ustaz Thariq yang kamu maksud itu, saat di Aussie."

"Sungguh?" Zen tidak bisa menghilangkan ketakjubannya.

"Iya, alhamdulilah." Kath menganggukkan kepalanya dua kali.

"Alhamdulillah. Aku senang mendengarnya. Selamat!" Zen tersenyum lega. "Maafkan, karena tidak menerimamu tadi. Kukira kamu, masih--"

"Iya, nggak papa. Aku paham kok."

Zen melirik arloginya. "Kalau begitu-"

"Tapi Zen, aku..." Kath terlihat tertunduk. Ia menghela napas. "Maaf, tapi bisakah kita bicara di suatu tempat?" tanyanya menunduk.

"Oh.. tapi-"

"Kumohon. Tolonglah aku kali ini. Aku tak tahu lagi harus bagaimana." Suara itu memelas.

"Kamu lihat ada Kafe di seberang jalan ini? pergilah ke sana. Aku akan menyusul."

***

"Suamiku marah besar ketika dia tahu
aku sudah berislam dan berhijab. Dia pasti akan mencariku... makanya aku lari ke Jakarta."

Zen sampai mencondongkan tubuhnya demi mendengar pernyataan tak diduga itu. "Maaf. Maksudnya?"

"Yah, kami lebih sering berjauhan karena dia selalu diutus ke sana kemari oleh atasannya. Selama ini aku selalu menyembunyikan keislamanku.

Zen menggeleng. "Itu tidak benar, status kalian--"

"Aku tahu, dia tidak halal bagiku. Tapi aku tidak tahu kepada siapa aku harus bergantung, terlebih aku sekarang juga sedang mengandung anaknya.

Ainy, membawamu kembali Where stories live. Discover now