Bag. 7 |💐 Pergi

397 76 18
                                    

Hari ini hari ketiga Khaira di rumah Bu Rahmah. Sudah tiga hari pula ia mendiamkan Zen, suaminya.

Zen sudah berusaha membujuknya pulang tapi tidak mempan. Khaira kekeuh di kamar tak mau membuka pintu.
bilang tak ingin dikunjungi dan butuh waktu sendiri.

Zen yang malam itu terpaksa pulang tanpa Khaira hanya bisa terpaksa maklum. Di satu sisi ia tak terima dan ingin marah dengan sikap Khaira. Tapi di sisi lain Ia tak ingin murka Allah menimpa sang istri jika ia tak memberi izin.

"Nggak papa. Mudah-mudahan sehari dua hari. Emosinya stabil." Begitu Ummi menghibur yang membuat Zen terpaksa sepakat.

Sore ini Zen berencana hendak ke rumah Ustaz Musa lagi untuk menjemput Khaira.

"Pak? Pak Zen?"
Sapa Rama menunggu berkas di tangan bosnya untuk ditandatangani.

Zen yang sedari tadi melamun pun tersadar. Ia pun langsung membubuhkan tanda tangan dan stempel basah. Tak disangka konflik tiga hari dengan Khaira akan mempengaruhi fokus dan konsentrasinya sedemikian ini.

"Selamat ulang tahun. Moga sukses, Pak. Kami semua bangga bisa berada di bawah kepemimpinan bapak yang luar biasa!"

Satu lagi pesan masuk yang memenuhi notifikasi pagi ini.

Zen tersenyum hambar. Rasanya semua hasil kerja itu seperti sia-sia. Apa arti semua ucapan selamat dan doa itu jika orang yang paling ia harapkan justru tak memberikan ucapan apapun. Zen menggeleng. Jangankan ucapan, sampai saat ini pun agaknya Khaira belum memaafkannya.

Zen menghempaskan tubuh di sandaran kursi, melempar ponsel ke laci yang membuatnya sangat tidak produktif pagi ini.

"Lho? Rama, ada apa?" Zen buru-buru memperbaiki posisi duduk. Ia kaget mendapati sekretarisnya itu masih berdiri menungguinya sedari tadi.

"Di hari spesial, ingin kita pesankan sesuatu pak?"

Zen menggeleng, sambil memijit pangkal hidung. "Tidak ada. Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?"

"Itu. Bagaimana dengan tawaran menjadi donatur panti jompo kemarin yang di seberang itu, Pak?"

"Saya masih belum bilang istri. Lagian itu beda negara."
Jelas Zen seraya mengambil beberapa berkas di map. "Sekalian tolong fotokopikan." Tambahnya sambil menyerahkan berkas.

"Wah. Tapi jika boleh berpendapat, menurut saya Ibu Khaira pasti akan sangat senang, Pak."

"Begitu? Apa yang buat kamu yakin?"

"Haqqul yaqin, Pak. Bukankah dulu bapak bilang kalo ibu Khaira pernah jadi relawan, sebagai bentuk ikhtiar dengan harapan ayahnya masih hidup dan dirawat orang di manapun  berada, agar Allah merawat ayahnya sebagaimana ia juga merawat orang lain."

Zen mengangguk membenarkan.

"Dan Pak Ibrahim justru ditemukan di panti jompo."

Sejenak hening mengambil alih. Zen mengangguk. "Brilian kamu Rama! Ini akan jadi kejutan terindah untuk istri saya. Kalo begitu tolong urus segala sesuatu yang diperlukan. Saya harap bulan depan kita sudah bisa berkunjung ke sana."

"Siap, Pak!"

***
Semalaman Khaira tak bisa tidur.
Pikirannya penuh tentang pembicaraannya dengan Kak Nisa. kakaknya mengaku lagi-lagi akan menolak pinangan seorang lelaki. Nisa keberatan dengan rencana Laki-laki itu yang hendak membawanya merantau ke negeri Jiran Malaysia. Berat hati kakaknya itu bukan tanpa alasan. Dengan siapa Ayah mereka yang sudah di kursi roda itu nantinya? Siapa yang akan urus? Lagi-lagi itu yang jadi pertimbangan.

Khaira merasa betapa tidak tahu diuntungnya dia sebagai adik. Selama ini semua orang berkorban untuknya. Kak Nisa, Bang Farid, tak terkecuali Zauqi.

Ainy, membawamu kembali Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang