2. Perempuan Laknat Itu Cikidipappap di Kamarku.

33.7K 467 82
                                    

"Timar, maafkan mas, ya? Mas tidak bermaksud menyakitimu. Hanya saja, ini sudah terlalu lama. Hampir enam bulan kita tidak mengayuh biduk asmara. Kamu kan tahu, Mas sering pusing kalau tidak sering bercocok tanam."

Di saat enam bulan pertama bibirku pencong semriwing, Mas Anton mulai berulah. Dia jarang pulang ke rumah, membiarkanku melewati hari-hari dengan Bik Cucut, pembantu rumah tangga yang sudah cukup lama melayani keluarga kecilku. Dan kalimat di atas adalah awal mula Mas Anton perlahan-lahan menghabiskan waktu di luar.

Aku bisa apa?

Badanku lumpuh sebelah, bibir sudah tidak seksi lagi. Mandi pun butuh bantuan Bik Cucut. Pokoknya hidupku bergantung pada orang lain.

Sungguh mengenaskan. Tiada lagi kebahagiaan, tiada lagi semangat hidup, yang ada hanya keinginan untuk mati. Namun, tekadku tidak terlalu kuat untuk melakukan bunuh diri. Aku masih takut azab kubur dan neraka.

Sekarang, sudah setahun lebih dua bulan aku duduk di kursi roda. Benar-benar parah. Badanku tinggal kulit pembalut tulang. Kemungkinan untuk sembuh itu ada, tapi sangat kecil.

Namun, keajaiban dari Tuhan itu pasti ada kan? Gak mungkin gak ada. Bukankah setiap penyakit ada obatnya kecuali mati?

Duh, pusing pala berbie.

Kegiatan sehari-hariku di rumah hanya bermenung ria sambil menatap wajah di cermin. Sering kaget sendiri melihat wujudku sekarang.

Di manakah primadona kampus yang dulu digilai para pejantan tangguh? Di mana si model cantik yang sering melenggok-lenggok di catwalk itu sekarang?

Ya Tuhan, aku berubah menjadi makhluk aneh mengerikan. Pantas saja Mas Anton tidak tahan melihatku. Tak ada lagi kebanggaanku sebagai seorang perempuan.

Aku kembali menangis di beranda rumah, di atas kursi roda. Memandang lembayung senja yang sebentar lagi akan memakan matahari dan memuntahkan rembulan.

"Sudah, Nyonya! Jangan menangis terus. Nanti sakitnya makin parah. Saya kasihan sekali sama Nyonya."

Bik Cucut mengusap lelehan air mata di pipiku. Bahkan aku tak punya daya untuk menghapus kesedihanku sendiri. Aku ingin membalas ucapan Bik Cucut, percuma, suara-suara yang kukeluarkan bagai erangan monster dalam film Power Ranger, grokkk greekk, gruuukk. Lidahku dibuhul mati sepertinya.

Jadilah aku diam seribu bahasa dengan air mata yang terus mengalir. Membuang muka dari Bik Cucut yang terus menatapku dengan penuh kasihan.

Bik Cucut masih hendak bersuara ketika dari luar pagar terdengar klakson mobil. Terlihat sedan Mas Anton hendak memasuki pelataran. Bik Cucut sekuat tenaga berlari ke depan menggeser pagar.

Ada secuil bahagia muncul di hati saat tahu Mas Anton pulang lebih cepat hari ini. Segera kubersihkan wajah agar tidak terlihat selesai menangis. Tangan kiriku masih berfungsi normal, ya? Cuma tangan kanan yang lumpuh.

Aku sudah berkeinginan untuk tersenyum semanis mungkin, walau mustahil adanya. Namun, niat itu memudar dengan cepat ketika yang keluar dari pintu mobil sebelah kiri adalah si ular berbisa, terlihat wajahnya berseri-seri penuh ceria.

Di pintu sebelahnya lagi, Mas Anton keluar dengan gagahnya. Yang membuatku marah, rambut mereka berdua basah! BASAAAH! SAHHH!

Mas Anton tertawa mendengar kata-kata pecun liar itu, "Mas, belanjaanku banyak, nih. Bantuin dooong."

"Iya, Sayang. Sebentar, ya? Kamu berdiri saja di sana." Lelakiku itu mengitari mobil dan berdiri di belakang si Tuti. Tangannya langsung memeluk laknattullah tersebut.

"Mas, geliii ... awww ... aww ... geli, Mas ... hi hi hi."

Ludah berkumpul di kerongkonganku. Awas saja, begitu wajah sok cantiknya itu mendekat, akan aku sembur dia dengan liurku ini. Jangan dikira aku tidak sanggup!

Panas sudah darahku! Mendidih sudah amarahku! Benar-benar setan mereka berdua. Di depanku, di depan Bik Cucut mau bercikidipappap? Awas sajaaa! Aku bunuh kalian berdua! Aku bunuhhhh!

"Sayang, nikmati saja napa! Gak ada yang liat, kok! Selain Bik Cucut dan Timar. Lagian, aku masih kangen sama kamuuu! Cup!"

Oh My God! Ludahku benar-benar tidak tertampung lagi. Seiring dengan lelehan air mata, air liurku juga merembes di sudut bibir. Aku berusaha memanggil-manggil Bik Cucut. Si Bibik malah berdiri seperti patung di dekat pohon jambu yang belum berbuah, menatap takut-takut ke arah Mas Anton.

"Hihi, gendong aku, dong, Sayang, ke dalam. Kita lanjutkan balapannya di kamar, ya? Aku punya ide untuk membuatmu tertantang." Suara si Tuti bagai mengandung bara. Membakar hangus dadaku ini. Rasanya sangat saaakit! Teramat sakit!

"Ide apa, Sayang?" Mas Anton mulai menggendong perempuan keparat itu. Belanjaannya yang banyak diangkat oleh Bik Cucut. Membuat perempuan tua itu megap-megap. Entah apa yang sundal itu beli? Aku jadi kepo. Mungkin saja ada gaun yang cantik-cantik, sepatu bermerk dan kebutuhan perempuan lainnya. Pastinya pakai duit Mas Anton itu.

Hmm, sadarlah kau wahai, Suamiku. Dia hanya menginginkan uangmu saja. Sadarlah woyyy!

"Turunkan aku di sini, Mas!" Tepat di hadapanku, si Tuti berdiri dengan angkuhnya. "Menjijikkan sekali kau, Timar. Lihatlah ludah busukmu itu! Cuih, jangan dekat-dekat, Mas! Bahaya! Bisa rabies kita nanti."

Aku menatapnya garang! Mataku melotot marah.

"Jangan sok galak! Seharusnya kau mati saja! Hidup segan, mati pun enggan. Untuk apa, ha?"

Aneh sekali si Tuti ini. Kenapa pula dia yang marah-marah? Kurang jatah atau bagaimana? Kualihkan pandanganku ke arah Mas Anton. Lelaki itu hanya menatapku sekilas lalu menggenggam tangan selirnya tersebut.

"Jangan marah-marah, Sayang. Aku jadi horny, nih!"

Astaga! Benar-benar lelaki jahanam! Mampuslah kalian berdua!

Si Tuti tertawa manja dan menggelendot asoy geboy sambil melenggang-kangkung ke dalam rumah.

Bik Cucut hendak mendorong kursi rodaku ke dalam. Namun, kutahan. Aku gak kuat mendengar desahan dan jeritan si Tuti.

Tuh, kan! Kalian dengar gak? Betina sialan itu sepertinya baru saja diterkam sama buaya jantan!

Benar-benar gak tahu adab! Padahal azan sedang berkumandang!!!

Mampuskan saja mereka, Tuhan! Aku ikhlas, kok!

Oughhhh ... tsss ... oughhh! Kembali si Tuti meraung! Bangsat!

LUCKNUT!!!

Bersambung!

PELAKOR DI KOLONG RANJANGWhere stories live. Discover now