#24 Sajak-Sajak Semusim

1.1K 179 46
                                    

Dua minggu setelah pertemuan di stasiun itu, entah bagaimana kami tak saling menyapa. Kadang, aku diam-diam memandang namanya di kontak whatsApp, sambil membatin, semoga kamu baik-baik saja.

Lalu semakin hari, aku menyadari bahwa namanya semakin tenggelam ke bawah dari barisan pesan-pesan yang masuk. 

Biasanya, aku melewati Sabtu dan Minggu dengan kabar-kabar perjalanannya. Foto-foto pantai, potongan-potongan senja, cerita hujan yang menjebaknya, cangkir kopinya, atau tulang-tulang ikan sisa makan bersama dari hasil memancing. Tapi kini aku tidak mendapatinya.

Tidak ada sama sekali.

Jadi, aku menghibur diri dengan melihat satu persatu ratusan foto yang pernah dikirim, yang kusimpan di folder kusus yang kunamai dengan namanya. Setiap gambar memutar moment-moment percakapan kami. Oh, apakah aku berlebihan? Tetapi memang itu yang aku lakukan.

Omong-omong, dia tidak posting apapun di media sosial. Pernah sih, tetapi begitu aku komentar, postingannya langsung dihapus. Dia posting lagi, aku komentar lagi, dan komentarku diabaikan.

Aku juga ke smulenya. Dia tidak bernyanyi sama sekali. Jadi, aku memutar kembali beberapa lagunya.

Kemudian aku sampai pada kesimpulan, bahwa inilah perasaan kehilangan itu.

Dia tidak boleh tahu kalau aku diam-diam mengecek semua media sosialnya. Dia tidak boleh tahu kalau aku diam-diam… mencarinya. Biar kutegaskan, aku bukan merindukannya ‘kan? Aku hanya ingin tahu kabarnya.

Allah… satu minggu, dua minggu dan kenapa rasanya seperti lama sekali?
apakah dia baik-baik saja?
Masih bolehkah saya bicara dengannya?
Masih bolehkah?

Aku memejam sejenak. Dan saat membuka mata, pandanganku jatuh pada buku harian di meja. Hanya buku tulis biasa. Berisi jadwal sehari-hari, target bulanan, deadline dan ide-ide kecil yang mendadak muncul.

Aku membukanya dan baru menyadari bahwa sejak kenal Pengelana buku ini lebih banyak berisi puisi-puisi pendek. Aku biasanya mencoret-coret  di buku setelah bercakap dengannya, atau dari potongan-potongan gambar yang dikirim.

Puisi pertama tentangnya sudah kubaca di smule. Puisi yang kubuat sebelum dia masuk rumah sakit. Saat itu, kami membahas kenangan sepanjang siang. Kenangan dia tentu saja. Karena itulah aku pernah menyebutnya seorang yang terbungkuk-bungkuk memanggul ingatan.

Ini tentang seorang yang  memanggul kenangan
Ia terbungkuk-bungkuk diberati oleh ingatan masa lalunya
Di kepalanya dipenuhi kata-kata
Kadang ia mencabutinya dan membungkusnya dengan tisu
Kemudian membuangnya begitu saja
Tetapi setiap kali pula, tumbuh tunas-tunas baru
semakin lebat, akarnya mencengkeram kuat
Kubilang padanya, perjuangkan yang layak diperjuangkan
Atau menerima kenyataan, dengan seluas-luas penerimaan
Sebab,
Masa lalu yang tak usai sering menyakitkan bukan?

Waktu itu Pengelana bertanya padaku, berapa saja buku yang aku habiskan dalam waktu satu bulan? Aku tertawa saja.

Di lembar yang lain, aku juga menyalin kalimat Pengelana saat kami membahas kopi. Aku komentar tetang apa enaknya minum kopi di gelas plastik bekas? Saat itu hari Minggu. Hampir jam tujuh pagi. Lihatlah, bahkan jam percakapan kami saja, aku masih ingat.

Bagi penikmat kopi, sejatinya kopi itu tetap sama
Hanya pikiran kita yang membuatnya berbeda
Sebab rasa kopi ada pada pikiran
dan hati kita sendiri-sendiri.

Pernah juga aku dan dia terlibat perdebatan panjang. Saat itu awalnya membahas kalau kami sedikit sama. Aku selalu tertawa setiap membahasnya, karena seolah-olah dia begitu tidak mau kami mempunyai persamaan yang banyak. Jadi kutulis saja percakapan itu menjadi puisi.

Meskipun Hujan Masih Turun (Sudah Terbit Versi Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang