# 15 Dering Telepon

1K 158 43
                                    

“Gani….”

Aku menegakkan punggung. Waspada.  Suara di seberang, sebelumnya tidak pernah terdengar di ponselku.

“Ini Paman.”

Dadaku tersirap.

“Ayah dan ibumu kecelakaan. Sekarang di rumah sakit….”

Kalimat berikutnya membuat sendi-sendiku lemas. Paman dengan suara bergetar menceritakan kalau ayah dan ibu mengalami kecelakaan tunggal. Dan kata-kata selanjutnya mendegam-degam di telingaku.

Aku menggengam ponsel kuat-kuat. Mencari pegangan dari ketakutan yang seketika mencengkeramku. Berkali-kali aku mengusap mata. Pandanganku baur menatap sekeliling kamar.

Kusambar ransel di gantungan, mengisinya dengan dua potong baju. Kuraih buku acak dari tumpukan, kemudian menyelipkan juga ke dalamnya.

Aku menekan-nekan dahi, mencoba berpikir jernih. Tetapi yang memenuhi kepalaku adalah wajah ayah dan ibu, dan cerita paman.

Kuraih botol minum di meja. Kuteguk paksa. Apa ya? apa? Apa lagi?
Lalu tatapanku jatuh pada laptop dan charger. Kujejalkan semua ke dalam ransel. Kutambahkan dompet, ponsel dan Quran terjemahan. Kemudian mencangklongnya setelah sebelumnya memakai jaket.

Kos sepi sekali. Aku memang pulang pagi karena ada fogging dan sekolah libur.

Aku menyusuri lorong mencari kamar yang ada penghuninya.

“Mila?” Aku mengetuk pintu kamar Mila yang setengah terbuka. Dia anak kampus Brawijaya yang sedang skripsi.

“Ya, Mbak?”

“Aku pulang. Orangtuaku kecelakaan.”

“Innalillahi.  Dimana Mbak? Terus gimana sekarang?” Mila melompat dari kasur, membuka pintu lebih lebar, lalu memelukku. “Semoga nggak parah  ya, Mbak.”

“Tolong bilang ke Dewi juga ya.”

“Iya Mbak, iya. Yang sabar ya Mbak. Ya Allah…”

“Makasih.”

“Gimana kalau aku antar sampai terminal Mbak?”

“Nggak usah, aku naik angkot aja.”

“Nggak apa-apa Mbak biar aku antar.”

“Gampang aja angkotnya, Mila. Makasih ya.”

Aku mengucapkan salam setelah meyakinkan Mila bisa pergi sendiri.

Setengah berlari aku menuju ke jalan raya, mencegat angkota ke arah terminal Landungsari. Mencari bus jurusan Jombang kemudian menyambung bus dari Surabaya menuju Ponorogo. Ibu dirawat di sana.

Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kulafalkan doa dan istigfar. Aku berharap semua baik-baik saja. Semua baik-baik saja.
Allah kumohon.

Adzan isya terdengar ketika bus berhenti di terminal Seloaji. Aku mencari ojek. Kusabar-sabarkan duduk di boncengan motor yang dikemudikan dengan lambat. Meski rasanya ingin kugas saja sendiri. Tetapi kemudian, aroma balsam dari jaket bapak ojek menyentakku, mungkin saja dia sedang sakit tetapi harus terus bekerja.

Begitu sampai tujuan, aku langsung menghambur melewati gerbang rumah sakit. Setengah berlari menyeberangi halaman, sebelum akhirnya berhenti, memindai sekeliling. Aku melewati beberapa orang, mencari jalan ke bagian informasi. 

Aku berusaha setenang mungkin, saat duduk dan mendengar petugas mengatakan kalau ibu baru saja masuk kamar. Katanya lama menunggu di UGD karena kamar penuh. Aku menanyakan ayahku, tetapi petugas itu tidak menemukan pasien atas nama ayah.

Meskipun Hujan Masih Turun (Sudah Terbit Versi Cetak)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu