#12 PLAGIAT

1.2K 142 44
                                    

G
Saya boleh tanya sesuatu?
Jawab dengan jujur ya?

Sepulang dari laundry, aku membaca kembali pesan Pengelana yang belum kubalas sejak tadi siang. Kenapa sih dia tidak langsung bertanya saja apa yang ingin ditanyakan? Apakah aku akan sulit menjawabnya? Atau itu sesuatu yang bisa menyinggung?

Oh iya, aku pernah bilang padanya, untuk tidak bertanya 2019 pemilu pilih siapa. Tentu saja kukatakan kepadanya kalau aku tidak ada rencana golput. Tetapi biar Allah dan aku saja yang tahu.

Mau bertanya apa? Jangan bertanya sesuatu yang kira-kira tidak bisa saya jawab.

Aku mengirim kalimat itu dan menunggu balasannya sambil membaca buku.

Hampir jam sepuluh malam, pesan Pengelana masuk.

Tidur sana. Hujan sudah reda.

Aku mengangkat alisku. Kalimat macam apa itu? Maksudnya dia tidak jadi bertanya?

Aku mengetuk-ngetuk tepi ponsel. Karena melihat Pengelana yang langsung off, jadi aku tidak membalas lagi. Kutaruh ponselku dan meneruskan membaca.

***

Salah satu yang aku lakukan di Minggu pagi, selain mengecek di grup Sastra Minggu perihal pemuatan karya, adalah membaca karya-karya itu.

Yang pertama, tentu saja aku ingin belajar dari tulisan-tulisan yang dimuat. Yang kedua, untuk mengetahui selera media tersebut. Kalau kita ingin mengirimkan tulisan ke suatu media kita harus mengenalnya ‘kan? Harus melihat juga apakah naskah yang kita kirim kira-kira cocok atau tidak.

Sebab, bisa saja naskah ditolak bukan karena buruk, tetapi karena tidak cocok. Mungkin ini seperti kata Ayah, tembakau enak yang dijemur ayah tidak bisa dicampur dengan opor ayam lezat masakan ibu. Baiklah memang terdengar tidak nyambung.

Aku kembali mengecek kolom komentar grup. Seorang memberi informasi dari satu surat kabar, tentang pemuatan cerpen dan puisi sekaligus mengunggah foto halaman korannya. Cerpen yang dimuat milik Vina Sri, nama yang tidak asing. (Dulu aku kukira Ansar Siri sama Vina Sri itu masih saudara. Aku pernah membaca novel mereka di wattpad.)

Aku kembali membaca komentar,  tujuh puisi yang dimuat atas nama Zakiya.

Aku memperbesar foto puisi yang berjudul Sajak-Sajak Zakiya.

POHON

barangkali, aku harus berguru pada pohon peluruh,

bagaimana mereka selalu tangguh
meskipun di musim gugur, seluruh daunnya runtuh

bagaimana bisa, ia tak cemburu, pada pepohonan hijau
yang sepanjang tahun, warnanya senantiasa begitu

Aku tidak asing dengan puisi ini. Ini kan puisi Pengelana? Ya Tuhan. Ada yang plagiat tulisan dia rupanya.

Aku membaca puisi berikutnya.

RANTING JATI

Kemarau adalah jeda yang menumbuhkan rindu berulang pada hujan
bertahanlah meski lelah, sebagaimana ranting-ranting pohon jati
yang tak pernah cemburu pada batang akasia yang tahan api.

Oh? Ini juga puisi Pengelana. Aku membaca lima puisi yang lain, dan mencocoknya dengan tulisan Pengelana. Semua sama. Bahkan tidak ada satu kata pun yang diubah.

Zakiya? Apa dia Pengelana?

Aku mencari akunnya. Ada beberapa nama Zakiya, tetapi hanya ada satu yang berteman dengan Pengelana. Aku membungkam mulut. Dia kan yang beberapa kali pernah komentar di status Pengelana.

Meskipun Hujan Masih Turun (Sudah Terbit Versi Cetak)Where stories live. Discover now