• sorry

1.9K 307 7
                                    

Aku takut. Cengkramanku di punggung Kak Wira kini semakin kencang. Aku ngga berani melepaskan wajahku dari pelukannya. Suara kami memang tidak terlalu keras, tetapi dengan keadaan yang sepi tentu saja percakapan kami masih bisa terdengar dari dekat pintu. Aku bisa mendengar suara pintu yang terbuka, dan suara langkah kaki yang menghampiri kami.

Kak Wira perlahan melepaskan diri walau aku sudah berusaha menahan tubuhnya. Dia lalu berjalan keluar meninggalkan kami berdua di kamar. Samudera mulai melangkah semakin dekat. Aku pun semakin menggeser tubuhku merapat ke arah dinding. Saat aku menggerakkan kakiku baru aku merasakan rasa sakit pada kakiku yang terkilir. Perih. Membuatku merintih pelan.

Samudera kemudian duduk di tempat Kak Wira duduk tadi. Sekarang ia sudah berada di sebelahku. Tanpa berkata apa-apa dia langsung menerjangku dengan sebuah pelukan, juga dengan ciuman di puncak kepalaku. I could feel how much he misses me, and I also feel the same thing towards him.

Oke. Aku ngga boleh egois lagi.

"Sorry. I didn't mean to say what I said before."

Aku akhirnya meminta maaf. Aku menghela napas panjang. Diam. Sebelum akhirnya aku kembali bersuara.

"Maaf, maaf banget aku bohong. Maaf aku melanggar ucapanku. I am sorry for...I don't know, for everything, I guess..."

Hebatnya, aku ngga menangis saat mengucapkan semua kalimat itu. Aku lega. Masalah dia memaafkanku atau ngga itu urusan nanti. Setidaknya aku sudah bisa menurunkan egoku, mengakui kesalahanku dan meminta maaf. Walau aku belum bisa memberitahu permasalahannya secara detil, tapi aku yakin dia sudah mendengarkan pengakuanku sebelumnya.

"Aku masih marah sama kamu, tapi aku minta maaf kamu jadi luka,"

Dia masih belum melepaskan pelukannya. Saat ini dia membisikkan kata-kata tersebut sambil mengelus rambutku.

"Maaf tadi aku bentak kamu. Aku panik saat lihat kamu kayak tadi. Kamu gemetar dan ngga berhenti nangis. Aku panik sampai akhirnya aku bawa kamu ke sini."

".....Samudera, maaf...aku ngga masalah kamu belum bisa maafin aku, tapi aku minta maaf aku udah egois banget...Sekarang aku udah mendingan, kayaknya aku pulang aja, ya?"

"NGGA! Kaki kamu masih sakit, dan kamu aja masih pucet gini. Ini udah malem dan kamu belum makan."

"Sayang..."

"God, how I miss that....sayang, kamu bikin aku stres sendiri...."

"Sorry, I promise I will try...not to do this again."

Aku baru berani membalas pelukannya dan kemudian aku menangis lagi. Kali ini penuh dengan perasaan lega dan penyesalan karena aku baru sadar bahwa sekarang aku memiliki dia. Yang bisa mendengarkan keluh kesahku. Yang bisa menjadi sandaranku. Yang mestinya aku hubungi saat aku sedang butuh seseorang seperti minggu lalu. Bukannya pergi meninggalkan dia tanpa kata-kata.

Kami masih berpelukan dalam diam. Dalam hati aku berjanji agar tidak mengulanginya lagi. Aku berjanji untuk berusaha lebih jujur kepada dia. Untuk berusaha agar bisa selalu bercerita padanya saat aku dihadapi masalah. Bercerita pada Samudera, dan tidak lagi diam tanpa suara.

Malam itu aku tidak meninggalkan kamar Samudera. Aku benar-benar beristirahat penuh di kamarnya. Tadi kakiku yang terkilir pun sudah diberi obat penghilang rasa nyeri oleh Samudera. Setelah itu ia pergi keluar meninggalkan aku. Samudera tidak bersamaku mungkin karena dia masih merasa tidak nyaman. Aku paham pasti dia masih emosi padaku. Tapi dengan keaadanku yang seperti ini aku hanya bisa menerima keadaan saja.

Satu jam setelahnya, Kak Wira kembali masuk dan membawakan aku makan malam. Aku sempat bertanya-tanya pada Kak Wira saat ia memberikan aku obat demam. Iya, ternyata suhu badanku tidak bersahabat dan untuk mencegah tambah parah aku dipaksa meminum obatnya.

Hello, Hi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang