10. Permintaan Maaf

Mulai dari awal
                                    

Tapi namanya lucu juga ya, kayak nama penyakit 'beri-beri'.

"Iye Pak, nanti saya sampein. Kalo gitu, saya sama Deana permisi ya, Pak? Assalamu'alaikum," Kata gue langsung manggil Deana untuk keluar kelas.

Sedari tadi, Deana mencoba memberontak. Tapi gue semakin mengeratkan cengkeraman gue di pergelangan tangannya. Gue sebel sama dia.

Deana menghentakkan tangannya kasar. Hingga cengkeraman gue pun lepas. "Apaan sih, Vhar?! Sakit tau," ringisnya.

Gue mendengus, "Gara-gara lo nih, gue kehilangan pembokat gratis!" sungut gue sebal.

Deana mengernyit, "Pembokat? siapa?" tanya Deana.

Gue cuma melengos sambil narik kembali tangannya tanpa menjawab pertanyaan Deana tadi. Biarin aja. Biar dia mikir.

Gue membawa Deana sampai ke fakultas hukum--tempat dimana Davi berada. Gue yakin, di jam segini dia pasti masih ada kelas. Ya iyalah, gue aja yang bandel maen kabur aja. Ah, sekali-kali cabut dari kelas gak dosa.

Jujur, sebenernya gue gak tau dimana kelasnya Davi. Yang gue tau, ya dia cuma mahasiswa hukum semester 6. Itu doang. Lagian, rajin amat gue kalo sampe tau kelas yang bakal diikuti dia hari ini. Terlebih, gue sama dia lagi selek.

Gue cuma jalan ke kiri-ke kanan, tanpa tujuan. Tadinya, Deana cuma nurut aja. Tapi kali ini dia menghentikan langkahnya.

"Gue capek, Vhar. Lo mau narik gue kemana sih? Tujuan lo apa? Kalo gak jelas, mending gue balik deh," kata Deana dengan nada frustasi.

Gue nyengir 3 jari, "Hehe, sebenernya gue juga gak tau dimana kelasnya Davi," jawab gue watados.

"HELL! LO NARIK GUE BUAT NYARI DAVI TAPI LO GAK TAU DIA LAGI DI KELAS APA?!" pekik Deana. Dasar toa mesjid! Gak tau, masih ada orang di sini apa yak? Malu-maluin derajat bangsa aja.

Refleks, gue langsung membekap mulutnya. "Lo berisik banget kenapa sih?! Masih banyak orang, De. Walaupun gak banyak sih." sungut gue.

Deana memutar bola matanya, "Ya, elo bego, ngajak gue nyari Davi, tapi lo nya gak tau dia lagi ada kelas apa. Sia-sia dong tadi jalan kesono kemari?"

Gue cuma nyengir gak jelas. "Ah, tau ah," lanjut Deana.

Blablabla.... Alhasil, gue di beri tausiyah panjang kali lebar sama Deana. Nih oranh sejak kapan jadi banyak bacot begini? Gue kira, gue doang yang banyak bacot, ternyata dia juga. Hadeh.

Gue berdo'a dalam hati, agar ada orang--siapapun yang dateng kemari terus diemin Deana. Kuping gue udah panas dapet pencerahan dari dia. Gak nyelo masalahnya.

"Ehem," suara deheman seseorang mampu mendiamkan kicauan Deana. Syukurlah, do'a gue dijabah.

Deana ngelirik gue seolah bilang, lo-kenal-? nya. Gue cuma angkat bahu acuh. Gue juga gak tau siapa nih orang. Mukanya asing bagi gue.

Gue mandang dia dengan tatapan menyelidik. "Sori, tadi gue denger lo berdua lagi nyariin Davi ya? Oh, sori, sampe lupa gue. Gue Kevin, temennya Davi." kata orang yang bernama Kevin ini. Dia mengulurkan tangannya dihadapan gue. Mau gak mau, gue pun menjabat tangannya.

"Keyna," jawab gue.

Tangannya beralih ke Deana. "Gue Deana," jawab Deana.

"Jadi lo tau Davi ada kelas apa sekarang?" tanya gue to the point.

Kevin mengangguk, "Yuk, gue anter."

Ternyata, kelasnya Davi ada di lantai paling atas gedung--bukan di rooftop. Ketemu Davi aja begini perjuangannya. Geez, capek, man, naikin anak tangga segitu banyaknya--gatau pasti banyaknya berapa, karena gue belum sempet ngitungin.

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang