Kenapa Harus Aku

1.1K 72 2
                                    

Haloo jumpa lagi kita, sesuai janjiku sama kalian. Insya Allah, cerita ini akan update seperti biasa, yaitu hari Senin dan Jumat.

Yang udah nunggu, selamat membaca. Jangan lupa klik bintang dan ramaikan dengan komentar.

Terima kasih

Robby dan Mandala keluar ruangan Bayu dengan perasaan dongkol. Dua laki-laki itu tak mau mengalah, merasa paling berhak dekat dengan Joanna. Robby tidak suka melihat Mandala menunjukan perhatian lebih untuk reporter kesayangannya. Bagaimanapun juga dia lebih lama mengenal Joanna ketimbang siapapun di stasiun TV itu. Robby mengumpat dalam diamnya, menyesali kebodohannya sendiri yang tak terikat hubungan apapun dengan Joanna, selain teman dan rekan kerja. Ditambah Joanna yan g sudah menikah dengan Rizki.

"Sial. Gimana cara gue buat ngelarang ini anak. Nggak ikhas banget Joanna deket sama dia. Joanna itu Cuma boleh sahabatan sama gue. Peduli setan sama lo atau siapa aja," gerutu Robby dalam diamnya.

"Sejak kapan lo deket sama Joanna?" tanya Robby ketika dia dan Mandala berhenti di kubikel Joanna.

Robby membuka laci dekat meja kerja Joanna, tanpa perlu izin dari sang pemilik yang masih tertahan di ruangan Bayu. Senyum sinis terukir di bibir Robby kala membungkuk untuk mengambil map outline di dalam laci paling tas. "Lo nggak bakal deket sama Joanna. Harusnya lo nggak mimpi bisa jadi temen lebih dari rekan," batin Robby mengejek.

Mandala berdehem sebelum menarik kursi Joanna. Layouter itu duduk di kursi wanita yang dia kagumi. Ada perasaan nyaman, meski sebatas menyentuh barang yang biasa dipakai Joanna. Malahan, dia tak ambil pusing dengan pertanyaan Robby dan sikapnya yang mengejek secara tersirat.

"Gue ngomong sama lo," cerca Robby seraya melempar map ke pangkuan Mandala.

Mandala menyeringai sebelum menjawab, "Ada yang salah? Nggak ada larangan yang menyatakan, Joanna boleh dan nggak boleh deket dengan siapa."

"Lo tahu kalau Joanna udah nikah. Apa itu nggak bikin lo mikir dua kali buat deketin dia?" Robby bersidekap, tatapan tajamnya mengarah pada Mandala yang membuka map di pangkuan.

Sekilas, Mandala membolak-balik halaman demi halaman, berusaha abai dengan pertanyaan yang diajukan oleh Robby.

"Harusnya kamu tahu jawaban pertanyaan retoris itu. Ayolah Rob, kamu membuatku pengen ketawa," balas Mandala tak kalah sengit. Baginya Robby itu pandai menuding, tapi tak pandai menilai dirinya sendiri. BODOH.

Robby terdiam, meraba-raba maksud ucapan Mandala. Kenapa rival yang duduk di depannya itu bisa bersikap tenang. Sedangkan dirinya kewalahan menahan amarah yang bergejolak. Ego laki-lakinya berapi-api ingin melindungi Joanna dari siapapun. Tidak ada yang boleh ada yang menggantikan posisinya sebagai sahabat dekat Joanna. Robby tak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Apa maksud lo?" tanya Robby setelah tak menemukan jawaban dari benaknya sendiri. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya pada meja Joanna, masih dengan tangan bersidekap di dada.

Mandala terkekeh pelan.

"Gue nggak lagi becanda!" gertak Robby yang mulai habis kesabaran.

Mandala bangkit, melangkah maju sembari menatap Robby tak kalah menantang. Sebagai laki-laki dia tak akan gentar, apalagi sampai takut dengan keberadaan Robby. Itu tak akan terjadi, Mandala berani karena merasa dapat lampu hijau dari Joanna.

"Siapa yang becanda di sini. Apa hakmu mengingatkan orang lain, Joanna emang udah nikah. Kamu suaminya? Setahuku bukan?" gertak Mandala.

"Sial! Gue kalah telak," umpat Robby.

Mandala tergelak melihat wajah Robby yang berubah pias. Dia merasa menang sudah membalikkan pernyataan Robby. Tetapi, apa yang Robby katakan benar adanya, salah satu dari mereka tak ada yang berhak melarang ataupun mengklaim sesuatu atas Joanna. Secara sah dan legal, wanita yang mereka perebutkan dalam diam sudah jadi milik laki-laki lain, Rizki Fadillah.

"Kalian ngapain masih di sini?" tanya Joanna yang baru saja keluar dari ruangan Bayu. Dia menyipitkan mata pada dua laki-laki yang berseteru di depan meja kerjanya.

"Ini Jo ... lagi ngomongin outline mingguan. Sorry tadi gue buka laci lo tanpa izin," jawab Robby. Kameramen itu lantas bergeser ke kursinya sendiri.

Joanna duduk lalu mengayunkan kursinya mendekat ke meja kerja. Dia menyalakan komputer sembari memijit pelipis dengan tangan kiri, siku bertumpu pada meja.

"Kamu nggak apa-apa, Jo?" tanya Mandala sembari menyentuh bahu Joanna perlahan. Sontak Joanna menoleh, lalu menurunkan tangan Mandala sembari tersenyum pada sang layouter.

Robby mengerucutkan bibir, menatap tajam Mandala yang lancang menyentuh Joanna di depannya. Kameramen itu bangkit dari duduknya, dia berdiri di belakang Mandala. Robby berdehem sekali sebelum memberi perintah. "Mending balik ke ruangan lo sendiri!"

Mandala menoleh pada Robby dengan senyum kemenangan terukir. "Kalem, nggak usah takut. Toh, posisi kita sekarang sama," tegas Mandala sebelum melangkah ke arah lift.

"Dia pikir dia siapa, beraninya megang Joanna. Nggak ada yang boleh ngelakuin itu selain gue,"tukas Robby dalam diamnya. Sesaat setelah Mandala hilang di balik pintu lift, Robby mengalihkan perhatiannya pada Joanna yang nampak sendu.

"Jo, lo nggak apa-apa?" cecar Robby. Dia berjongkok di sebelah Joanna, mengamati wajah Joanna yang muram dengan kelopak mata sembab. Laki-laki yang selalu setia menemani Joanna itu mendadak cemas. Jelas ada yang tidak beres terjadi pada Joanna, mata merah dan kelopak sembab itu tak bisa membohongi Robby.

Joanna menggeleng pelan. Dia mengusap sudut matanya sembari menulis sesuatu di sticky note. Robby melongok ke meja Joanna, "Apa yang lo tulis Jo?"

Joanna memberikan potongan kertas kecil berwarna kuning pada Robby yang masih berjongkok di sampingnya. Laki-laki itu terhenyak setelah membaca tiga kata yang ditulis Joanna. Sontak Robby membelalak pada wanita di hadapannya, sedang Joanna menunduk dengan air mata membasahi pipi.

"Bayu?" ucap Robby lirih seraya meraih tangan kanan Joanna.

Joanna mengangguk satu kali. Robby meradang, amarahnya meledak seketika. Beraninya Bayu melakukan tindakan pelecehan pada Joanna, atas dasar apapun Robby tak akan mengampuni tindakan Bayu. Dia meremas lalu melempar gumpalan kertas itu ke tempat sampah.

"KURANG AJAR!" umpat Robby dalam hati.

"Rob, kenapa harus aku?" tanya Joanna lirih di sela tangisnya. Wanita itu terus menunduk, membalas genggaman tangan Robby, erat. Joanna butuh kekuatan untuk menegakkan harga dirinya yang terluka.

Sikap Bayu sudah melewati batas. Tindakan redaktur itu tidak bisa dibenarkan, sekalipun dia bilang cinta pada Joanna. Bayu sudah menikah, begitupun Joanna, sebagai laki-laki tidakkah Bayu menghormati wanita seperti ibunya sendiri.

"Gue udah curiga dari dulu. Bayu kupret itu ada rasa sama lo." Robby mengusap-usap punggung tangan Joanna. Dia mengambil tisu, memberikannya pada wanita yang sangat ingin dilindungi setiap saat. "Udah jangan nangis," pinta Robby.

"Tapi Rob ... gue nggak terima. Dia pikir gue wanita apaan," sergah Joanna sembari mengelap bulir air mata.

"Gue tahu, lo wanita paling baik yang pernah gue kenal. Ada gue di sini, jangan takut sama dia. Dan lagi, gue nggak akan ngebiarin lo berdua sama brengsek itu." Janji Robby. Mulai saat ini dia ingin memastikan Joanna selalu aman.

Joanna menghela napas dalam kala mendengar ucapan Robby. "Kenapa lo jadi posesif, Rob. Nggak lucu kalau lo juga ...."

Bersambung

~~~~~

Sampai jumpa hari Jum'at.

Salam

Yuke Neza

DiurnariiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang