13

6.2K 1.2K 232
                                    

Kesibukan dimulai, selain belajar Kimi juga tengah menyelesaikan naskahnya yang sudah dilirik salah satu penerbit. Sore ini Kimi kembali menyambangi Coffeetime, melewatkan latihan Mua Thay demi menyelesaikan naskah. Akhirnya dia mengorbankan sesuatu untuk meraih cita-citanya. Hidup penuh pilihan, dan inilah pilihan yang akhirnya Kimi ambil.

Karena sudah mengorbankan Mua Thay, Kimi tak ingin semuanya jadi sia-sia. Dia pun totalitas dalam menyelesaikan naskahnya. Terlihat saat ini dengan earphone di telinga, Macbook di depan, dan tangan yang bergerak lincah di atas keyboard, Kimi berusaha membuat cerita yang dia tulis semakin menarik.

Matanya melirik Varo di hadapannya yang juga sibuk di depan Macbook, tengah membantunya membuat banner untuk bahan promosi di media sosial. Senyumnya mengembang, bersyukur Varo mau membantunya. Meskipun dia sendiri mampu melakukannya sendiri tapi kini dia mau mengakui bahwa dia butuh bantuan seseorang. Sekarang apapun akan dia lakukan untuk menggapai impiannya, termasuk meminta bantuan.

Mimpi yang orang lain pikir mudah tapi tidak baginya. Dia butuh usaha untuk mencapainya karena dia tipikal cewek yang selalu memiliki pemikiran beberapa tahun ke depan. Baginya segalanya butuh strategi bukan hanya sekadar menulis.

"Apa lihat-lihat? Naksir?"

Kimi memberikan tatapan malas mendengar omong kosong Varo.

"Atau lo mau ngajak gue nikah setelah nggak mau putus?" Varo berbisik, mencondongkan kepalanya.

"Besar kepala banget lo."

"Kenyataan. Lo suka kan sama gue?"

"Enggak."

"Enggak kenapa nggak mau putus?"

"Karena gue nggak rela lo bahagia. Sesimple itu."

"Sayangnya gue bahagia." Senyum licik terbesit di wajah Varo. "Kali ini lo yang mau jadi pacar gue. Jadi jangan salahin gue nantinya."

"Diem lo, ganggu konsentrasi gue aja," ucap Kimi mengalihkan pembicaraan dan pandangan karena tatapan tajam Varo sedikit menggoyahkan dirinya.

"Lo yang ganggu gue duluan. Lo sadar nggak, kalau gue rekam, lo lebih banyak mandangin gue dari pada layar laptop lo."

"Sumpah ya, lo orang terPD yang gue kenal. Abizar aja nggak segila lo."

"Tapi Abizar nggak bisa bikin lo jadi pacarnya. Sedangkan gue bisa bikin lo nggak mau putus dari gue. Gue emang sehebat itu."

Kimi memilih diam, melanjutkan menulis meski konsentrasinya sudah berantakan. Apalagi kini dia merasa Varo memerhatikannya. Kimi melirik Varo lagi, meyakinkan bahwa perasaannya benar jika Varo emmang memerhatikannya.

"Nah kan, lo nglirik-nglirik gue. Padahal dari awal gue bilang jangan suka sama gue."

"Gue nggak suka sama lo. Gue cuma nggak mau putus."

"Biar apa?"

"Biar lo nggak bahagia. Nggak bisa punya pacar beneran dan terikat sama gue," jawab Kimi dengan wajah sinisnya.

"Gue bahagia aja tuh."

"Serah lo deh, yang penting bantuin gue."

"Kalau bukan lo, gue males bantuin."

Kimi diam tapi dalam hati dia berorak senang. Varo jelas serba bisa dan paling bisa diandalkan. Jika dulu dia kesal dengan kehadiran Varo, kini dia justru bersyukur. Sejak ada Varo segalanya terasa lebih ringan.

***

Seperti biasanya Kimi, Hime, dan Trisha duduk pada satu meja untuk menikmati makan siang di kantin. Kali ini tak ada Varo di antara mereka meski Kimi sudah meminta untuk tak jadi putus. Varo kini sudah bisa berbaur dengan yang lain dan tak mengekorinya. Bela dan kawan-kawan yang dengan kentara mendekati pun sepertinya sudah menyerah dengan Varo yang diam-diam sadis.

KozlesWhere stories live. Discover now