#21

2.8K 214 61
                                    

"Terkadang ada seseorang yang hadir seperti senja, dimana yang kehadirannya selalu membuat kenangan, dan kepergiannya selalu membuat kerinduan"


Rose merasa bersalah, ketika semua menganggap kedua orang tidak hadir di sekolah karena suatu masalah yang kemarin terjadi. Masalah yang bahkan kepala sekolah pun mengetahuinya. Kini Rose duduk ternunduk, tak berani menatap lelaki bertubuh besar di hadapannya ini. Sang kepala sekolah telah mengintrogasi tentang masalah kemarin.

"Jadi hanya karena masalah sepele kau membuat dua orang itu tidak hadir. Kau mau tanggung jawab untuk nilai mereka, Rose?"

Rose masih terdiam, sebenarnya ia ingin mengelak. Mengapa ia yang di salahkan? Ini tidak adil. Bisa-bisanya korban yang membuat perkara, teori dari mana itu?.

"Ayo bicara Rose, jangan hanya diam menunduk saja. Padahal kemarin kau berani menampar pria di depan banyak orang. Mana Rose yang pemberani kemarin?" Sang kepala sekolah mulai menyindir membuat Rose mengepalkan tangannya. Rose tidak terima, merasa teremehkan. Sialan!

Rose dengan perlahan mendongak, "Mengapa harus korban yang di jadikan perkara?"

"Perkara apanya?! Kau jelas-jelas salah! Tidak seharusnya kau melakukan itu di depan umum. Kau itu punya malu apa tidak?!" Tanyanya nadanya naik satu oktav, matanya mendelik dan membara.

Rose tersenyum miring, "Punya. Aku punya malu. Maka dari itu, aku membela diriku agar tidak di permalukan sebagai bahan taruhan"

Seketika Sang kepala sekolah terdiam, ia menelan ludah. Tidak ingin merasa di kalahkan, Kepala sekolah berdiri dari kursinya, memperbaiki kacamatanya yang sedari tadi tak nyaman menyangkut di hidungnya.

"Rose, kau harus menerima hukuman"

Rose melebarkan matanya, alisnya bertautan. Raut wajahnya menandakan tidak terima. "Apa salahku?! Mengapa aku yang di salahkan? Padahal sudah jelas aku korbannya!"

"Tapi kau membuat kegaduhan di sekolah. Kau harus tau regulasi, Rose! Dasar bangkang!"

Mendengar itu, dada Rose seakan-akan di tusuk beribu pisau yang tajam dan dalam. Sungguh menyakitkan lemparan kata sengit itu.

"Sebagai kepala sekolah harus lah adil, kalau hanya mementingkan kualitas regulasi sekolah, kau malah membuat sebagian anak-anak murid yang tak bersalah menjadi bersalah." Timpal pria itu dari belakang.

Rose sontak menoleh, tepat Chanyeol sedang berdiri di belakangnya, dengan tangan yang di masukkan ke dalam kedua kantong celananya. Pria itu melangkah dekat.

"Jika aku di posisi anak ini, aku juga akan merasakan ketidak adilan. Walaupun ia salah, kau cukup memberikan nasihat saja. Tidak perlu hukuman"

Kepala sekolah itu menghela nafas berat, tak mungkin ia menyangkal orang pintar di hadapannya ini. Sisi lain, ia juga salah satu guru favoritenya dan menyukai cara kerjanya yang membuat muridnya itu meningkat.

"Baiklah, aku tidak akan menghukumnya. Tapi aku tidak akan menasihatinya, karena baru saja yang melawanku"

Chanyeol menoleh ke arah Rose yang tepat berdiri di sampingnya. Rose menunduk, ia tak berani mendongak, ia tau betul sikap Chanyeol yang tak suka jika ada yang melawan orang lain yang menasihati dirinya.

Chanyeol kembali menoleh ke arah kepala sekolah, menjaga rautannya agar tidak seperti orang yang ingin ikut marah juga. "Karena aku gurunya, biarkan aku saja yang menasihatinya"

Sang kepala sekolah mengangguk pasrah sembari mengelap kacamatanya yang mulai berembun itu, "Kau nasihati saja di sini. Aku harus bertemu dengan guru kesiswaan di luar"

Te Amo, RoseWhere stories live. Discover now