do

225 47 10
                                    

17.06.20
GO生
Save the date, guys!

...

Aroma gadis yang baru selesai mengaplikasikan lotion ke tubuhnya, bertabrakan dengan aroma masakan sang Ibu yang eksistensinya tak mau terkalahkan. Bahkan, sampai membangunkan sang Ayah yang masih mengenakan kaus oblong beserta training selutut favorite-nya.

"Hari Sabtu kan ini? Kamu ada kelas?"

"Ngga, tapi tetep harus ke studio. *Maket-ku masih rumpang," gadis itu meletakkan sejenak cutting mat dan isi cutter yang baru ia beli, untuk kemudian memakai hoodie jurusan kebanggaannya.

"Itu yang kaya gitu jangan ditaruh dimeja makan dong teh, mau mamah jadiin talenan?"

"Jangan dong mah, aku sengaja beli baru ini. Biar lebih semangat," segera ia masukkan kedalam totebag-nya bergabung dengan potongan penyusun maket yang ia kerjakan semalaman.

Belva Kineta Ashalina, gadis dengan panggilan rumah Acha itu berusaha membangun kembali semangatnya, setelah terhitung seminggu dirinya hanya tidur tak lebih dari tiga jam. Atau mungkin, setelah masuk jurusan yang sangat ia minati ini dirinya tak pernah memiliki jam tidur yang cukup. Tapi ia menikmatinya, sungguh.

Setelah mati-matian mengejar ketinggalannya untuk persiapan SBMPTN dua tahun yang lalu, kerja kerasnyapun terbayar. Salahkan dirinya yang baru menetapkan pilihan saat memasuki semester akhir di bangku SMA.

Sebenarnya jurusan Teknik Arsitektur ini sudah ia taruh dalam hati sejak lama. Bergantung pada minat dan keahlian awalnya, yaitu melukis. Namun, tak sampai hati jika ia mengingat dirinya bahkan tak masuk 10 besar dalam ranking pararel. Belum lagi, ia yang sering mendadak ngantuk jika dihadapkan dengan soal fisika.

Tapi kemudian, tekad menamparnya. Sang Ayah yang kala itu memaksanya untuk daftar di salah satu Politeknik berbasis kesehatan, memberikan pilihan lain setelah melihat anaknya menangis menolak apa yang ia kehendaki. Sempat terjadi adu mulut, dengan argumen terkuat dimenangkan si kepala keluarga.

Berakhirlah dengan kesepakatan. Belva tetap harus mengikuti seleksi politeknik yang Ayah kehendaki, tapi ia juga bebas memilih jurusan untuk bertarung di SBMPTN setelahnya. Karena saat itu ayahnya yakin, kemampuan anaknya tak setara dengan rata-rata Institut yang sangat anaknya dambakan.

Maka dari itu, Belva tak ingin terlihat lemah dihadapan sang Ayah. Seberapapun lelahnya ia, ketika sampai dirumah Belva tak boleh mengeluh. Begitu prinsipnya.

Bahkan Belva masih ingat jelas beberapa hari setelah pengumuman ia lolos, dirinya dan sang Ayah masih belum mengibarkan bendera damai. Dan pastinya, perdamaian terealisasikan atas turun tangan Mamah yang geram ketika dilanda keheningan jika mereka berkumpul bertiga.

"Ayah ke kantor gak?"

"Iya, tapi santai. Rencananya ketemu klien yang mau konsultasi," tangannya meraih gelas yang berisi kopi hitam yang diatasnya masih terlihat kepulan.

"Aku numpang ya? Mau sekalian beli kuas, udah gak enak dipakenya"

"Okey tunggu sebentar, Ayah mandi dulu. Atau gak usah mandi, ya? Tetep ganteng kan, Mah?"

"Udah tua kok mikirin muka, yang penting bersih dan sehat. Emang gak malu sama klienmu kalau bau?"

Ayahnya masih bekerja di Firma Hukum, meski beberapa hari terakhir ia sering kali membahas topik mengenai pensiun. Tapi, Belva tak habis pikir kenapa ketika di rumah sang Ayah tetap meninggikan egonya dengan argumen dan tidak mau mengalah.

TIÁMHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin