4. DONE

1.8K 195 28
                                    

Aku terbangun dengan dengungan kecil ditelingaku. Tangan kiriku terasa pedih dan gatal. Rupanya terpasang selang infus disana.
Aku mengernyitkan dahi. Bagian bawahku terasa ngilu.
Sekelilingku berwana putih dengan aroma khas rumah sakit.

Tiba-tiba sesuatu menghantam kepalaku, membuat aku terperanjat.

Bayiku? Gimana keadaan janin dalam perutku? Apa dia baik-baik aja?

Mataku berkeliling mencari siapapun yang bisa aku tanyai soal janinku.
Sampai aku menangkap Revan berlarian dengan panik kearahku.

"Kamu udah sadar, Ji?" Tanyanya dengan kepanikan yang nggak bisa dia tutupi.

"Anak aku? Dia baik-baik aja kan, Van?" Aku balik bertanya dengan tatapan tajam kearahnya.

Dia malah membuatku makin kesal. Dia hanya menundukan kepalanya tanpa sepatah katapun. Perasaanku semakin bercampur aduk.

"Revan!! Bilang sama aku kalo anak aku baik-baik aja!" Bentakku padanya yang masih tertunduk.

Perlahan bahunya berguncang. Ada isakan dari bibirnya.
Aku bersumpah, aku nggak suka keadaan seperti ini. Ini malah membuatku semakin nggak tenang.

"Ma.. maafin aku, Ji." Ucapnya lirih dan terbata.

Maaf? Maaf buat apa? Perselingkuhannya? Ahhh.,persetan dengan itu. Itu bisa kuurus belakangan. Yang penting sekarang adalah janinku.
Aku nggak ingin membahas kisah panasnya dengan Anita. Aku ingin tahu gimana keadaan janinku.

Aku mulai bergerak. Aku duduk diranjang kulit sintetis ini. Kuraih tiang infusku dan aku berjalan kearah pintu.
Sebenernya pangkal pahaku sakit banget dipakai jalan begini. Tapi aku nggak sabar melihat Revan yang malah berdrama sinetron begitu.

"Ji....." Revan menahan langkahku. Dia memegangi kedua pundakku sambil menatapku. Matanya yang penuh air mata menatapku intens.
"Aku minta maaf gak bisa jaga anak kita. Aku minta maaf gak bisa jadi suami dan papa yang baik buat kamu dan anak kita." Ujarnya sambil menangis.

Aku seperti tersambar petir.
Nggak! Ini pasti bohong. Revan pasti lagi ngigau. Nggak mungkin janinku yang bahkan aku belum sempat lihat, sekarang udah nggak ada.

Tuhan, tolong bilang ini semua cuma bercanda. Revan lagi bercandain aku kan? Tuhan lagi bercandain aku kan? Ini nggak lucu, Tuhan. Boleh lelucon yang lain aja nggak? Jangan yang ini?

"Minggir!!" Usirku pada Revan. Dia mundur beberapa langkah karena doronganku. Aku sedikit bangga karena biarpun aku diinfus, aku masih bisa mendorong mundur Revan.

Baru saja aku mau membuka pintu, tapi pintu itu sudah terlebih dulu dibuka dari luar.
Seorang wanita paruh baya dengan jas putih memegang handel pintu yang baru saja dibukanya.

"Bu Jingga....." ucapnya heran.
"Ibu belum boleh turun dari ranjang. Kondisi ibu masih lemah."

Aku menatap dokter yang didadanya terpasang tag nama 'Rosi' itu.
"Dok, jawab saya. Anak saya baik-baik aja kan, Dok?"

Dokter Rosi menghela napas. Ia menatapku penuh prihatin.
"Ibu,saya minta ibu naik keranjang Ibu dulu. Nanti saya jelaskan kondisi ibu."

Kali ini aku menurut. Aku nggak ingin banyak drama panjang. Aku cuma ingin tahu bagaimana keadaan janinku.
Aku naik keatas tempat tidur dingin itu lagi.
Seorang suster membantuku. Dia juga membetulkan posisi tiang infusku.

"Jadi...?" Tanyaku pada Dokter Rosi sambil menatapnya penuh harap.

"Bu Jingga. Saya mohon maaf, dan saya menyesal gak bisa menyelamatkan janin Ibu. Diusia kehamilan satu bulan memang masih sangat rawan. Terlebih terhadap benturan keras seperti yang Bu Jingga alami." Papar Dokter Rosi

JINGGA (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang