5. BACK TO YOU

2K 184 31
                                    

Setelah memenangkan semua tuntutan dan resmi bercerai, aku memutuskan untuk kembali ke Bandung.

Dengan kekuatan uang dan kelihaian Om Yudha, Anita dijatuhi hukuman tiga puluh tahun penjara karena melakukan pembunuhan berencana. Nggak usah mengerutkan kening dan nanya aku, kok bisa? Namanya juga kekuatan uang, ya bisalah.

Uang itu aku dapat dari hasil kemenanganku dalam tuntutan perceraian. Aku mendapatkan setengah dari apa yang Revan miliki.

Keluarga Revan pernah datang menjengukku dirumah sakit sambil memohon agar aku mempertimbangkan gugatan ceraiku. Mimpi!
Jelas aku menolaknya dengan tegas.
Nggak ada satu wanitapun yang mau hidup seatap dengan pembunuh anaknya.

Aku nggak peduli meski mereka memohon, menyembah bahkan sujud dikakiku.
Bukankah dulu mereka yang memfitnahku dengan bilang kalau aku ini wanita mandul? Terus, kenapa sekarang mereka mohon-mohob agar wanita mandul ini tetap jadi menantu dan keluarga mereka?
Makan aja itu semua ucapan mereka. Aku sudah muak.

Setelah pesawatku mendarat di bandara Husein Sastranegara, aku nggak lantas meninggalkan Bandara.
Aku duduk dikursi entah dibagian mana, aku nggak tau.
Ingatanku pada janinku membuat kepalaku berdenyut nyeri.

Aku meraih obat pereda rasa nyeri yang dokter resepkan untukku. Aku memakannya tanpa air. Aku sudah biasa.
Tatapanku kosong. Kepalaku tertunduk menahan beban berat didalamnya. Hatiku menjerit pilu. Benarkan ucapan Biru dalam mimpiku kalau aku sedang berduel dengan takdir?
Tapi kenapa?

Aku menghirup oksigen banyak-banyak, kuatur napasku hingga kembali teratur.
Aku kembali menegakkan kepalaku. Namun sesuatu menarik perhatianku.

Disana, diantara kerumunan orang yang berjalan keluar dari pintu kedatangan domestik, aku melihat dia.
Jelas, pengelihatanku belum rusak meski mungkin otakku sedikit terganggu.

Biru menarik koper kecil miliknya dan berjalan menjauh. Dia masih sama seperti empat tahun lalu.
Dia masih segagah dulu. Wajahnya nggak menunjukan tanda-tanda penuaan meski usianya terus bertambah.
Langkahnya masih sama, tegap dan penuh percaya diri.

Dan rindu itu muncul, menggeliat dan menggelitik disisa relung hatiku.
Nggak! Aku nggak boleh ngebiarin rasa ini tumbuh lagi. Aku harus bisa membunuhnya secepat mungkin.
Aku nggak mau lagi jadi Jingga yang dulu.

Aku bangkit dari dudukku dan berjalan meninggalkan bandara sambil menarik koper besar milikku.

Rumah ayah dan ibu nggak banyak berubah setelah empat tahun aku tinggalkan.

"Kembaliannya ambil aja." Kataku pada Bapak sopir taxi yang mengantarku pulang sampai kedepan gerbang rumahku.

"Makasi, neng." Balas Bapak sopir taxi dengan wajah berseri.

Bapak sopir taxipun membantuku menurunkan koper dari dalam bagasi.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku melangkah memasuki halaman rumah.

Kuhirup dalam-dalam oksigen yang bercampur aroma khas kebun Bunda.
Kelebatan masa kecilku bersama Avio muncul dikepalaku.
Aku merindukannya.

Rupanya aku nggak perlu repot-repot mengetuk pintu. Karena Bunda sudah berdiri diambng pintu. Bunda terlihat pucat dan lebih kurus dari sebelumnya. Matanya sembab sehabis menangis.

Aku memeluk tubuhnya. Pelukab yang selalu aku rindukan. Pelukan yang selalu mampu memberiku ketenangan.

Bunda mengurai pelukannya. Ia memangkupkan wajahku dengan kedua tangannya. Tatapannya begitu sendu.

JINGGA (COMPLETED)Where stories live. Discover now