Aiman dan Alya akhirnya pergi ke ruangan tempat Adinda dirawat di rumah sakit tersebut. Mereka mendapati Dinda sedang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Kepalanya terbalut perban. Masker oksigen diletakkan di atas hidung dan mulutnya. Dan tabung dan jarum menempel ke tubuh mungilnya.
Aiman menarik kursi lebih dekat ke tempat tidur Dinda dan duduk. Memegang tangan adiknya, dia memejamkan mata dan berharap agar kondisi adiknya menjadi lebih baik.
"A Aiman?" Alya menepuk bahu Aiman.
Aiman berbalik untuk menghadap adiknya. "Iya?"
"Berapa banyak uang yang ada di tabunganmu? Apakah itu akan cukup untuk operasi Dinda?" Alya menghujani kakaknya dengan pertanyaan.
Aiman menghela nafas panjang. "Sejujurnya, aku tidak punya banyak uang saat ini. Tapi aku berjanji kepadamu aku akan mendapatkan uang untuk operasi Dinda, dengan cara apapun. Kamu harus percaya padaku, oke?"
"Tapi bagaimana Kakak bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang relatif singkat?" Alya mengajukan pertanyaan lain dengan berurai air mata.
Aiman berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku akan meminjam uang dari ayahnya Sandra. Dia adalah seorang pengusaha yang kaya dan dermawan. Aku yakin dia akan meminjamkan kita uang."
"Baiklah kalau begitu, telepon Kak Sandra sekarang dan minta bantuannya!" Alya menyuruh kakaknya.
"Oke. Aku akan meneleponnya sekarang." Aiman kemudian keluar dari ruang rawat inap Dinda untuk menelepon.
Aiman mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya dan kemudian menelepon Sandra, tetapi teleponnya tidak bisa tersambung. Dia mencoba meneleponnya lagi dan lagi, tetapi sungguh mengecewakan, dia masih tidak bisa menghubunginya. Dia kemudian menelepon telepon rumah Sandra, tetapi tidak ada yang menjawabnya. Mengetahui itu sia-sia, Aiman akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamar Dinda.
"Apa yang Kak Sandra katakan kepadamu, A Aiman? Dia dan orang tuanya bersedia membantu kita, kan?" Alya bertanya dengan penuh harap.
Aiman menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Aku mencoba menelponnya beberapa kali tetapi tidak bisa tersambung.""Mungkin Kak Sandra sedang sibuk saat ini. Sebaiknya Kakak pergi ke rumahnya dan bertemu dengannya secara pribadi," usul Alya.
"Kamu benar. Baiklah kalau begitu, aku akan pergi ke rumah Sandra sekarang. Jaga Dinda selama aku pergi, oke? Panggil saja perawat jika kamu membutuhkan sesuatu! Dan jangan lupa untuk segera memberitahuku jika ada perubahan dengan kondisi Dinda," pesan Aiman.
"Oke, aku akan melakukannya," janji Alya.
Aiman berbalik dan berbicara dengan Adinda, "Kakak harus pergi sekarang, Dinda. Kakak akan segera kembali."
Dia menanamkan ciuman di dahi saudara perempuannya sebelum bangkit dan berjalan menuju pintu.
"Sampai jumpa, Alya," ucap Aiman sebelum dia keluar dari ruangan itu.
"Hati-hati, A Aiman!" seru Alya.
Aiman hanya menjawab dengan anggukan.
♣♣♣♣♣
Aiman mengendarai mobilnya menuju rumah Sandra dengan kecepatan tinggi. Setibanya di sana, dia membunyikan klakson mobilnya, tetapi tidak ada yang datang untuk membuka pintu gerbang. Dia membunyikan klaksonnya lagi, tetapi hal itu masih sama.
Aiman menurunkan kaca mobilnya. "Pak Amir?" dia memanggil nama penjaga keamanan yang bekerja di rumah Sandra, tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya, Aiman turun dari mobil dan berjalan ke gerbang. Dia membunyikan bel dan menunggu. Tapi belum ada yang muncul untuk membukakan gerbang untuknya.
YOU ARE READING
In the Name of Friendship (A Bilingual Novel ~ Completed)
Random[BILINGUAL NOVEL - Written in English and Bahasa Indonesia] The edited version of this story is now available on Google Play Store. Highest Rank #5 in Aksi (Action) [17/01/2019] "Shinta, please let me go for my sisters!" Aiman pleaded. "I am sorry...