Bab 1: Pertemuan

522 48 21
                                    

"Kita baru saja bertemu.  Tapi entah mengapa aku merasa nyaman dengamu"

-Akira-

***

Dipinggir jalan,  tepatnya di toko kelontong, Halilintar bersama Akira berteduh.  Hujan yang tidak dapat mereka prediksi membuat jalan pulang harus ditunda sementara. 

Halilintar yang tengah bosan menatapi hujan yang turun,  seketika melirik Akira yang sibuk dengan bukunya.  "Hei,  kau gak bosan apa baca buku terus? "

"Hm? " Akira melirik Halilintar dengan tatapan heran.  "Untuk apa bosan?  Bagiku ini adalah sumber penambah semangatku"

"Ya, aku tahu kau suka sekali baca buku.  Tapi ya..  Aku heran aja"

"Hm?  Heran bagaimana?" Akira benar-benar tidak mengerti maksud Halilintar.

"Ya... " Halilintar memutar biji bola matanya.  Sedikit kesal lantaran Akira susah sekali 'peka'nya. "Biasanya kan,  orang yang penyuka baca buku kalau sekedar menghilangkan bosan paling baca novel dan komik.  Nah kau beda sendiri" Halilintar melirik buku yang Akira pegang. Terpampanglah tulisan di buku tersebut 'Sejarah Peradaban Islam Pada Era Renaisans'.

Akira agak tersinggung saat Halilintar  melirik bukunya dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan.  Ya,  dia tahu. Orang-orang banyak yang merasa heran dengan dirinya jika di saat senggang, Akira selalu membaca buku sejarah atau tidak buku pelajaran. Matematika saja pernah dia jadikan bahan bacaan penghilang bosan.  Jadi, Akira ini adalah spesies manusia langka yang demen sama buku. Padahal dia tidak tampak seperti anak pintar lainnya.  Justru style pakaiannya tidak lebih layaknya anak biasa.

"Wah,  keren! "

Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka berdua.  Dan sontak keduanya berbalik,  tepat asal pemilik suara itu.

"Oh,  maaf" si pemilik suara itu menyadari kesalahannya dan hendak pergi.  "Maaf mengganggu. Aku cuman kagum sama dia.  Betah berlama-lama dengan buku. Permisi" ketika akan melangkah pergi,  tiba-tiba Halilintar menggenggam tangan remaja laki-laki tersebut. "Eh... "

Halilintar menatap tajam pada remaja itu.  "Matamu gak sakit kan? "

"Hm? " remaja laki-laki itu sedikit terkejut, tapi dia memaklumi.  "Gak kok" jawabnya dengan seulas senyuman. Di sisi lain,  Akira bernapas lega.  Akhirnya ada yang memihaknya.  "Lagipula,  dia manusia langka. Jadi aku kagum padanya. Kayak mesin komputer aja"

Freeze. Akira membeku.  Dia kira remaja itu tidak seperti anak lainnya,  tapi rupanya sama saja. Sementara itu,  Halilintar berusaha keras menahan tawanya agar tidak lepas.

"Aku gak berniat mengejek kok.  Tapi kebiasaan kamu membaca buku pelajaran itu aku salut" remaja itu menepuk-nepuk pundak Akira.  Berusaha mengambalikan senyumannya. "Aku yang berkacamata saja kerjaanku malah main game.  Nilaiku pun paling tinggi hanya mendapat B+. Rasanya seperti dihadiahi tamparan untukku"

Akira tertegun.  Dia seolah faham yang dimaksud remaja laki-laki itu. Apa hubungan dengan keluarganya tidak baik atau... dia trauma ya?,   pikirnya sedikit ragu.  "Ah,  tidak.  Ini hanya hobiku sejak kecil.  Semua orang pasti punya hobi,  termasuk kau sendiri" dia lalu menutup bacaannya itu dan memerhatikan remaja tersebut di depannya. 

"Memangnya bermain game termasuk hobi kah? Baru tahu aku" kata remaja laki-laki itu tidak percaya diri atau mungkin rada polos.

"Aku tahu maksudmu.  Tapi di dunia serba canggih ini, sudah banyak pekerjaan yang berasal dari hobi.  Termasuk hobi bermain game.  Kau juga bisa mendapatkan uang dari hobimu itu" terang Akira.

"Wew,  sejak kapan kau jadi bijak begini? " Halilintar meledek.

Akira menyipitkan kedua matanya.  Merasa heran sekaligus kesal akan kata-kata Halilintar barusan.  "Sejak negara api menyerang" dia kemudian memalingkan muka untuk menutupi rasa kesalnya. Tapi tetap saja Halilintar tahu. 

"Hahaha,  lol! "

Remaja laki-laki itu hanya tertawa kecil.  "Kalian berteman ya? "

"Gak! " Akira dan Halilintar menjawab bersamaan.  Sedangkan remaja laki-laki itu justru tertawa geli melihat respon cepat mereka berdua.  Dan keduanya menatap satu sama lain,  seolah ingin membuat area pertarungan saat ini juga. Tapi dibuyarkan oleh remaja laki-laki itu.

"Kalian lucu.  Baru kali ini aku bertemu orang dingin yang rada sableng kayak kalian"

"Ha!? " Halilintar menganga lebar dengan kedua tangan dilipat dan tatapan tidak terima.

"Hei,  kami tidak sableng. Kami termasuk orang yang pintar tahu! " Akira menunjuk dirinya sendiri. 

"Kami... katamu? " Halilintar sedikit risih kalau ada yang menyamainya.  Terkhusus bagi Akira. 

"Sudah... sudah.  Lebih baik kalian balik ke rumah.  Hujan sudah reda dari tadi loh" remaja laki-laki itu berusaha keras menahan tawanya.

Sadar akan ucapan remaja laki-laki itu,  mereka berdua melihat keseliling. Ternyata benar apa yang dikatakannya. Hujan telah berhenti.

"Hm... kebetulan aku harus pergi ke suatu tempat" kata Halilintar yang memasukkan kedua tangannya ke saku celananya dan akan bersiap melangkah pergi. 

"Oh iya,  aku harus cepat pulang.  Aku harus memberikan hasil ujian dan medali olimpiade ke mama"

"Dasar anak mami" ledek Halilintar dengan kumpulan kata sadisnya.

"Berisik,  terserah akulah! "

"Okey,  hati-hati ya" remaja laki-laki itu melambaikan kepergian mereka.  Tapi entah mengapa keduanya berbalik dan tersenyum ke arahnya.  "Eh...? "

"Oh iya, kita belum berkenalan" kata Akira sambil berjalan mendekat.  "Namaku Novael Akira dan dia Halilintar. Biasa sih dipanggil Hali" Akira mengulurkan tangan kanannya.

"Ouh" remaja laki-laki itu lantas menyambut uluran tangan Akira seraya berkata,  "Namaku Taufan.  Senang berkenalan dengan kalian"

***

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hey guys!
Maaf kalau ceritanya rada gak jelas.  Tapi aku harap kalian suka.
Aku juga menunggu komen dari kalian ;)
Next or Stop?
Next ajalah ya~~ (っ´▽')っ

Dark Blood: Apologize Where stories live. Discover now