Bab 8 : Reunian?

29 4 4
                                    


“Pffftt… bang Taufan katanya lebih kuat dariku? Kenapa malah gak bisa bangun cuman karena dua serangan dariku?” wajah mengejek dari bocah laki-laki yang mengenakan hoodie hitam dan dilengkapi corak hijau gelap itu menyeringai. Raut wajah seperti berhasil menundukkan lawannya hanya sedikit diserang. 

“Thorn… hentikan semua ini. Kalau kau berurusan dengan mereka-”

“Tuan” tatapan mata bocah laki-laki dipanggil Thorn itu menajam, setajam silet yang hanya digores sedikit saja bisa membuka apisan daging. “Tuanku lebih kuat dari abang. Jangan seenaknya memanggil dengan sebutan ‘mereka’. Abang gak mau kan, saudara yang lain mati?”

Taufan menelan ludahnya. “Jadi kamu membuang darah pahlawanmu dan mengkhianati kami hanya demi kekuatan?”

“Pfftt…hahahaha!” suara tawa mengejek Thorn menggema. Membuat Taufan sedikit terkejut sekaligus bergidik ngeri. “Abang lucu banget dah! Pake kata ‘kami’ pulak” Thorn menenangkan dirinya meski senyum merendahkan yang terkesan menyeramkan itu masih melekat di wajahnya. “Abang lupa ya siapa yang pertama kali merekomendasikan ide ini?”

DEG!

Degup jantung Taufan terasa berhenti ketika Thorn mengucapkan kalimat tadi. Dengan jari sedikit ditekukkan di dagunya dan sorot mata yang merendahkan, Thorn berkata. “Abang Taufan lah orangnya!” lalu ucapan itu ditutup dengan senyuman menyeramkan yang mampu membuat mulut Taufan tertutup rapat.

Taufan tiba-tiba membuka matanya. Seperti seseorang yang habis bermimpi buruk. Dia pun menggerakkan tubuhnya untuk mencoba bangun. Meski rasa sakitnya masih setia di dalam tubuhnya. 

"Ukh, perasaan, meski sakit aku masih bangun. Ini kok…" Taufan terbelalak kaget ketika melihat seluruh tubuhnya–kecuali dari leher dan kepala–dililit oleh tali tambang. Apa  aku tertangkap lagi?, Taufan melihat sekelilingnya. Memastikan sesuatu apakah yang dipikirkannya itu benar atau tidak. Hmmm… ini bukan tempat eksperimen. Bahkan terlalu bagus untuk tempat eksperimen. Ini seperti kamar seseorang, pikirnya. Tapi kemudian mendadak kesal. Tapi… kok aku diikat di kasur begini!?, teriak batin Taufan sambil beberapa kali mencoba melepaskan diri. Tapi jika di lihat, dia seperti cacing yang sedang menggeliat. Dia juga sengaja tidak mengeluarkan suara teriakan, gunanya untuk tidak memancing pemilik rumah sekaligus orang yang membawanya ke kamar asing itu. 

Tapi dari situasinya, tidak ada peluang untuknya melepaskan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tapi dari situasinya, tidak ada peluang untuknya melepaskan diri. Tidak ada benda runcing di dekatnya. Kalaupun ada, itu cuman gunting yang berada di meja kecil dekat sofa tanpa sandaran yang berhadapan langsung dengan jendela besar. Itu letaknya jauh dari kasur tempat Taufan diikat. Kalaupun dia menggunakan gerak tubuhnya agar kasur itu untuk bergerak, sudah pasti menimbulkan suara. 

Jadi, keputusan akhir Taufan adalah menyerah. Dia terbaring lesuh dengan senyuman terpaksa layaknya orang yang berserah diri pada takdirnya. Haaaa… nasibku kok gini amat sih? Udah ketahuan Halilintar, sekarang tertangkap pulak. Padahal aku cuman-eh?, Taufah tersentak kaget ketika dia berdecak. Di dalam mulutnya ada cairan lengket seperti rasa besi. A…apa yang ada di dalam mulutku!?, dia panik tetapi juga kaget. Dia ingin mengecek dengan menjulurkan lidahnya, tapi tidak terlihat di matanya. 

Dark Blood: Apologize Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang