Bab 4: Samar-Samar

180 19 4
                                    


Tang!

"Pa...panasnya" seorang pemuda mengenakan celemek putih lusuh berjongkok. Mengutip tahu yang baru saja dimasak. 

"Dasar kamu ini, Gempa. Hati-hati dong" seorang wanita mendekatinya sambil membantu memunguti tahu-tahu goreng di lantai. Terpaksa harus di goreng ulang lagi deh, pikir wanita itu. 

"Biar aku yang urus, Kak Windy" ujar Gempa. "Lagian kan ini salahku"

Wanita bernama Windy itu menghela napas. "Yasudah..." lalu berdiri sambil memperbaiki tali celemeknya. "Nanti kalau sudah, langsung di letakkan di sana ya" Windy menunjuk ke piring-piring yang tertata rapi di atas meja makan. "Ingat, jangan melamun kayak tadi" tambah Windy sambil mengaduk masakannya yang sempat tertunda. 

"Ya, Kak" sahut Gempa. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa aneh, pikirnya. 

***

"Gempa? Dia siapanya kamu, Hali?" tanya Meyza penasaran. 

"Dia orangnya lebih dewasa dari aku. Pandai masak, punya kepribadian yang hangat, heemmm... apalagi ya?" Hali mencoba mengingat sosok itu. 

"Trus hubungannya antara jalan ini dengan orang itu apa?" tiba-tiba Akira menyerobot pembicaraan mereka berdua. 

"Tunggu dulu, Kira. Mey belum mendapatkan jawabannya tahu. Asal nyerobot aja!" kesal Mila yang tidak terima.

Akira melihat Mila dari ujung matanya. "Diamlah, Tukang rusuh"

Tu...tukang rusuuuuuuhhh!!?, amarah Mila bangkit. "Apa kau bilaaaang!?" Mila menarik kerah baju Akira. 

"Tung-Mila! Akira!" Mey jadi kebingungan bagaiman cara mengatasi mereka berdua. 

"Biarin aja mereka kelahi. Entar juga berhenti" 

"Hali..!" Meyza jadi tambah panik. "Mereka emang sering kelahi, tapi kalau kelahi di sini, dilihat orang-orang. Bantuin dong melerai mereka"

Halilintar memerhatikan kedua temannya itu yang masih kelahi seperti pasangan suami istri di mana si suami selingkuh. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja Mila sudah memegang teflon di tangan kanannya. Ditambah lagi, dia melambungkan ke atas seakan bersiap memukul Akira. Dari mana Mila dapat teflon dan panci?, pikirnya heran. 

Di sisilain, ketika mereka berdua tengah sibuk berdua berdebat bagaimana cara melerai dua temannya itu, Taufan terlihat shock. Keringat dingin mengalir deras, kedua tangannya tidak berhenti gemetar serta mulutnya yang sulit untuk menutup. Ba... bagaimana... Hali... bisa ingat... kejadian itu?, pikirnya. 

***

Di suatu tempat yang dikelilingi oleh tebing curam dan langit hitam kemerahan, terdapat sebuah mansion tua berada di salah satu ujung tebing dengan sebuah pohon beringin berbentuk aneh di sampingnya.

"Heeemm~" seorang bocah laki-laki yang berpakaian serba hitam-hijau tua itu menatap langit dibalik jendela. "Bang Taufan..." senyum mengerikan terlukis di wajahnya. "Darahmu itu, sudah bukan lagi darah pahlawan loh. Jadi..." bocah laki-laki itu lantas membuka sedikit mulutnya. Dan terlihatlah empat buah gigi taring. "Jangan harap bisa melarikan diri"

***

Deg!

"Aaaaaaaaaaaaaaaaarrrrgh!!" mendadak Taufan merasa kesakitan kemudian terjatuh ke tanah sambil memegangi mata kiri dan dadanya. Sa... sakiiiiit!, batinnya. 

"Taufan?" Meyza terkejut melihat Taufan yang tiba-tiba kesakitan. 

"Taufan!" Halilintar mendekati Taufan. "Ada apa? Oi!"

"Tidak... apa... nanti... hilang... sendiri... sakit... nya..." lirih Taufan. 

"Tapi kamu kesakitan begini. Kamu punya penyakit berbahaya?" Meyza tambah khawatir. Tapi bukan jawaban yang di dapatnya, hanya senyuman aneh diterimanya. Dan lagi, senyuman itu seakan mengisyaratkan 'aku tak apa-apa'. 

Sementara itu, Mila dan Akira yang tadi sibuk berkelahi kini sudah berada di dekat mereka. 

"Ada apa?" tanya Akira.

"Taufan kenapa?" diikuti Mila.

"Taufan... dia tiba-tiba kesakitan… aku gak tahu… harus bagaimana… aku takut… kalau dia…" Meyza menunduk. Ingatan masa lalu yang tidak ingin dia ingat kembali hadir. Seorang gadis berkulit gelap terkapar lemah tak berdaya di hadapannya. Saat itu Meyza hanya mematung lalu melarikan diri. Bukan untuk menyelamatkannya. Aku… aku… tidak ingin kehilangan lagi!, ketika Meyza mendekati Taufan mendadak Halilintar mendahuluinya.

"Mey, tolong telfon abangmu. Kita butuh bantuannya!" pinta Halilintar sambil memapah tubuh Taufan. 

Oh iya! Kan ada bang Romi. Dia pasti-eh… tunggu, pikiran Meyza yang tadi dipenuhi harapan kini berubah down. Dia teringat rintangan 'sulit' ketika hendak meminta tolong pada orang seperti Romi itu. "Tapi… gimana kalau dia menolak?" overthinkingnya kumat. Halilintar dibuat ragu karenanya. 

"Kita tidak akan tahu sebelum mencobanya, kan?"

Meyza tersentak. 

"Kalau dia tetap menolak, aku masih ada cara lain" senyuman licik Halilintar ditambah dengan arahan sorot matanya pada Akira membuat Akira merinding seketika. 

Apaan sih nih orang?, Akira memutuskan menjaga jarak dengan Halilintar. Aku harus waspada, tambahnya. 

"Ayo!" Halilintar diikuti ketiga temannya berlari menuju tujuan mereka. Tempat Romi berada. Saking seriusnya berlari, mereka tidak menyadari kalau kesadaran Taufan berada diujung tanduk. Istilahnya, sekarat. 

"Haaaahh… sepertinya dia tidak akan bertahan lama" sosok seorang gadis muncul dibalik bayangan barisan pohon. Sedari tadi dia memerhatikan mereka berempat tanpa ada yang menyadari. "Yah, lagian itu bukan urusanku" gadis itu berbalik arah. "Setidaknya mata-mata dari klan Dark Blood lenyap sudah meringankan bebanku"

***
































































Readers, maaf ya. Bab ini cuman sedikit. Penulis lagi fokus sama komik dan kuliah (otw KKN dan juga nyari judul skripsi). 

Sibuk banget pokoknya. Jadi, jarang update nih cerita.

Btw, kalian mau aku tetap nerusin nih cerita atau stop aja? 

:')

Dark Blood: Apologize Where stories live. Discover now