tiga

7.2K 318 6
                                    


"Mei gimana bik?" tanya Edwin saat akan berangkat ke kantor.
"Alhamdulillah mendingan dah den,  tadi sudah mandi sendiri dan makan nggak disuapi lagi," jawab bik Sum. Edwin mengangguk dan berangkat ke kantornya.

***

Malam hari saat akan makan malam Edwin melihat Mei makan di ruang makan. Sejenak Edwin melihat wajah Mei yang masih pucat. Mei menunduk menikmati makan malamnya. Mereka makan tanpa bersuara.

***

Pagi saat akan ke kantor Edwin melihat Mei yang melangkah menuju pintu depan menggunakan dress selutut berwarna beige dan tas warna senada dengan sepatunya. Rambut panjangnya diikat sehingga rambut-rambut kecilnya berjatuhan dikening Mei.

Edwin menghembuskan napas dengan kasar. Frey...bisiknya parau dalam hati.

"Aku akan mengantarmu ke butik mama," ucap Edwin tanpa melihat Mei dan menyeret lengannya menuju mobil.

"Lepaskan,  aku bisa berangkat sendiri," Mei berusaha memberontak. Ditariknya lengan Mei dan Edwin menunduk mendekatkan wajahnya pada wajah Mei.

"Jika bukan mama yang menyuruhku,  aku juga tidak mau mengantarmu," ucap Edwin dengan pandangan tajam.
Meisya menarik tangannya dan hampir jatuh ke dada Edwin karena tidak seimbang.

"Jangan mengotori kamejaku lagi,  cukup satu kemejaku yang kau buat kotor dengan air matamu, saat kau pura-pura mengigau dan memelukku," Ucap Edwin sambil mendorong tubuh Mei duduk di jok depan dan segera melajukan mobilnya menembus kemacetan pagi. Mei hanya melongo, benarkah? kapan?

Selama perjalanan pikiran Meisya kemana-mana,  ia dapat merasakan hembusan napas Edwin saat marah dalam jarak dekat,  jika tidak sedang marah,  ingin rasanya ia mengecup bibir merahnya dan menariknya dalam pelukannya,  tapi jika ia ingat lagi kata-kata Edwin,  kapan ia memeluk Edwin. Benar-benar bikin bingung. Saat sampai di butik Bu Minda, sebelum turun Mei menatap tajam Edwin.

"Jika aku memang memelukmu,  pasti aku dalam kondisi tidak sadar, jika dalam keadaan waras aku tidak sudi menyentuh orang yang selalu punya pikiran jelek pada orang lain." Mei turun dan melangkah tanpa menoleh lagi.

Huuuffttt... Edwin menyandarkan kepalanya pada sandaran jok mobil sambil memejamkan matanya. Lalu menghembuskan napas dan melanjutkan perjalanan ke kantornya.

***

Jam tujuh malam Meisya berkemas dan melangkah ke luar butik,  di luar ia bertemu Adit,  fotografer yang biasa menangani pemotretan di butik Bu Minda. Mereka berbicara agak lama dan terlihat keduanya berbicara sangat akrab dan tertawa riang.

Dari balik kaca mobil Edwin melihat mereka dengan tatapan aneh. Ia keluar lalu menghampiri keduanya.

"Sudah selesai diskusinya?" tanya Edwin dengan wajah dingin. Adit menoleh dan merasa tidak enak dengan tatapan Edwin.

"Oh mas Edwin,  iya iya sudah mas," ucap Adit berusaha tersenyum.

Edwin menatap Meisya yang tanpa disuruh berjalan mendahului Edwin menuju ke arah mobil.

"Aku menunggumu untuk segera pulang, bukan untuk menunggui orang berpacaran," ucap Edwin dingin, sesaat setelah Mei duduk di sampingnya. Mei menoleh dengan tatapan sengit.

"Kami hanya teman,  tidak pacaran,  dan kalaupun aku pacaran itu bukan urusanmu."

"Aku nggak ngurus kamu, aku nunggu kamu pulang," jawab Edwin sinis.

"Siapa yang nyuru nunggu aku?" tanya Mei marah.

"Mama," jawab Edwin dengan suara setengah membentak.

Soto untuk Kakak (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang