"Apa yang terjadi malam itu, Yu? Kamu kemana?"

Tanpa diduga, reaksi Dayu membuat Halim kaget bukan main. Perempuan itu berteriak kencang dan panjang.

"Dayu!" serunya. "Apa yang kamu lakukan?"

Dayu menarik nafas, berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir seraya mengusap kepalanya. Dia melihat Halim dengan mata yang basah, lalu menggeleng. Halim menyugar rambutnya dan ikut berdiri. "Kamu ada masalah apa?"

"Aku sudah menikah." ujar Dayu.

Mulut Halim terbuka secara otomatis. "Menikah?"

Dayu mengangguk. "Aku mengidap kanker paru-paru stadium II!"

Halim mengangkat tangannya tak paham. "Aku nggak paham kamu membicarakan siapa,"

"Malam itu-" Dayu menarik nafas. "Seseorang menawariku tumpangan, dia bilang bisa mengantarku ke tempatmu. Aku tidak tahu, jadi aku ikut dengannya."

"Kamu ikut aja? Harusnya kamu menghubungi aku, Yu."

Dayu mengangguk. "Aku ikut dengannya karena dia bilang tahu dimana kamu berada. Dia memberiku minuman dan memintaku menghabiskan minumannya." Dayu menggeleng lalu menghela nafas. "Aku tidak ingat apalagi yang terjadi, yang jelas paginya aku-" dia melihat Halim.

"Kamu-?" Halim tak berani menebak. Pasti bukan itu yang terjadi, kan?

"Aku di kamarnya, tak memakai apa-apa." Dayu mengadah, membuat air mata jatuh lebih cepat. "Aku tidak tahu, Lim." isaknya lagi.

Halim meloloskan nafas yang dia tahan dari tadi. "Dayu,"

"Orang tuanya menikahkan kami dua hari kemudian dan kamu tahu-" Dayu mengusap wajahnya lalu melihat Halim. "Aku hanya ingin pergi dari mereka semua."

Halim bergerak untuk memeluk Dayu. Pelukan yang begitu erat, yang dia harap bisa menolong Dayu melewati ini. "Ini salahku," gumamnya dengan suara bergetar. "Ini salahku, Yu!"

Dayu menangis lagi. "Haliiim..." rengeknya.

"Maafin aku, Yu! Maaf!" Halim mendesah. "Oh Dayu,"

"Aku hamil, Lim. Aku hamil anaknya!" tambah Dayu seakan ingin menumpahkan semua emosinya pada Halim.

Lelaki itu memejamkan matanya, mencoba menerima semua informasi dari Dayu. Kalau saja dia bisa menjemput Dayu malam itu. Harusnya dia meminta ijin pada bosnya untuk menjemput Dayu. Hanya akan memakan waktu satu sampai dua jam atau hanya akan terpotong berapa rupiah dari gajinya. Tentu saja, tak akan menghasilkan penyesalan seperti ini.

"Ssst, Dayu, Dayu tenanglah. Maafkan aku, Ya Tuhan." Halim menarik nafas panjang, mengusap kepala Dayu berkali-kali. "Dayu, maaf."

"Lim," gumam Dayu.

Halim melerai pelukan, memegang wajah Dayu dengan dua tangannya. "Maaf,"

Dayu menggeleng. "Bukan salah kamu. Harusnya aku-"

"I am so sorry,"

Dayu mengusap wajahnya lalu menarik nafas panjang. Ada ketukan yang menyakitkan di kepalanya sekarang. Dia terlalu emosional hingga tak ingat keadaannya. Dia berpegangan pada tangan Halim untuk duduk di ujung jogging track, lalu mengadah.

Halim menghela nafasnya, memandangi Dayu. Lalu pandangan matanya turun pada perut wanita itu. Tak tahu berapa usia kanduangannya, tapi jelas ada perubahan di sana. "I am sorry, Yu. Really."

Dayu mendesah, memaksimalkan fungsi parunya untuk mengambil nafas kemudian. "Hidupku kacau, Lim." dia melihat Halim. "Dan bukan salah kamu."

"Kalau saja aku bisa jemput kamu malam itu." gumamnya.

Dayu menggeleng. "Entahlah, aku tidak tahu, Lim." Dayu mengusap wajahnya.

"Kamu tinggal dimana sekarang?"

"Apartemen Luminers. Yang punya AksataInc itu mertuaku, jadi aku bisa kerja disana."

"Aku nggak tahu ini sebenarnya berkah untuk kamu atau bukan." Halim menguatkan genggaman tangannya pada Dayu. "Gimana keadaan kamu sekarang?"

Dayu menggeleng lagi. "Kacau, berantakan, bingung, semuanya. Aku hamil dan kena kanker. Aku tidak tahu harus merasakan apa lagi sekarang."

Halim mendesah. "Dayu,"

Dayu menjatuhkan kepalanya di bahu Halim. "Hidup kejam sekali padaku, Lim. Aku tidak tahu salahku dimana. Ini seperti kutukan." Dayu mengusap matanya.

"Jangan bicara seperti itu,"

"Kamu ternyata belum berubah, selalu menilai semua hal dengan baik."

"Kamu kasih tahu aku, Yu, kalau kamu butuh apa-apa. Aku janji aku akan selalu ada untuk kamu, kapanpun!"

Dayu tertawa pelan. "Halim-" harusnya kamu memang datang menjemputku malam itu.

"Berapa nomor handphonemu, Yu?"

Dayu menggeleng. "Kamu tulis saja nomor handphonemu di kertas. Aku tidak bawa handphone."

"Ayo berdiri dan pergi dari sini. Kamu kelelahan dan butuh makan. Nanti, kuantar pulang."


🍃🍃🍃🍃🍃

pulang.

🍃

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang