[02] 2 Menurun

795 127 13
                                    

Jumat, 18 November 2033

Jumat Sepatu selalu bersandar pada Sabtu yang berkabut dan Minggu yang hanya diisi tidur. Pucuk pistol sang bos mulai membayang-bayang di benak Sepatu pada Minggu sore, domba-domba menolak dihitung pada Minggu malam, dan akibatnya selalu repetitif: Sepatu memulai Senin dengan kantuk tak tertahankan, dan Jumat demi Jumat meluncur dalam sekejap mata.

Pagi-pagi usai denting mesin absensi, setumpuk dokumen menunggu di atas meja Sepatu. Dia berjingkat mendekat, mencari tahu dokumen apakah itu.

Draf teka-teki silang.

Hanya ada beberapa.

Waktu Sepatu baru masuk kerja, mejanya disambangi menara draf. Bayangannya bisa menutupi seluruh wajah, menenggelamkan Sepatu di tengah meja. Para pendiri Hipetsi—Himpunan Pengarang Teka-teki Silang Seluruh Indonesia—mengajak bertemu, serentak bersama media-media cetak lain. Acara prasmanan kelas atas. Wafatnya Pak Rumeli Moeshar setahun sebelumnya tidak membuat mereka gentar. Mereka berjanji tidak akan bubar. Pagi itu Sepatu muda tampil mengilap, bersalaman dengan banyak tokoh, seraya memasang pose tegap. Sepulang dari sana, Sepatu bertambah betah tenggelam dalam larutan draf teka-teki silang. Dia meringkuk di pojok kubikel dengan sekantong makanan ringan penuh vetsin dan secangkir kopi, menekuni draf-draf dan memilah mana yang untuk koran, mana yang untuk majalah, dan mana yang untuk bundel ikhtisar. Terkadang dia tidur di ruang pertemuan, malam bertemu pagi. Sepatu menumpang mandi di kantor Toto, perusahaan keramik kamar mandi, yang berlokasi persis di sebelah. Terpaksa dia begitu, karena kalaupun dia nekat pulang dengan kereta komuter, pandangannya buram oleh petak-petak hitam putih bernomor. Kartu plastik pintarnya tampak berpetak-petak. Kondektur tampak berpetak-petak. Tukang gorengan juga petak-petak, dari muka sampai dagangan. Dia bisa jatuh, menabrak petak-petak yang keras, dan mati.

Sepatu belum mau mati dalam usia semuda itu.

Sepuluh tahun lalu, Sepatu menerima minimal lima puluh draf dalam tenggat cuma dua minggu. Putaran kalender membilang tiga puluh, Sepatu tahu dia tak benar-benar muda lagi. Terkadang dia meminum konsentrat protein, terkadang jamu, terkadang steroid, terkadang teh untuk menghangatkan badan yang pegal-pegal. Pernah beberapa kali dia tumbang karena punggungnya serasa terlipat-lipat. Setelah dia masuk lagi, bos mengurangi jatah periksa drafnya dalam seminggu.

Begitu seterusnya.

Perlahan tapi pasti, berkurangnya peminat majalah jatuh ke titik mengkhawatirkan.

Suatu saat Hipetsi mulai tidak aktif. Mati suri. Tak ada lagi yang melindungi keberadaan rubrik kuis di berbagai media. Sepatu tahu salah satu pengasuh rubrik kuis di koran terkemuka dari pertemuan dengan Hipetsi dulu, dan sekarang dia bekerja sebagai Mitra Manusia pada saluran siaga bagi orang-orang kesepian. Sepatu bertanya mengapa dia memilih begitu. Bicaralah dengan orang dan bukan dengan petak-petak, begitu balasannya.

Sekarang ini, hanya ada lima draf pun apa boleh buat. Semua masih dalam amplop cokelat.

Sepatu memindai nama-nama mereka.

Nomor anggota Hipetsi, jika ada.

Di mana mereka tinggal.

Ada satu amplop yang memacak mata Sepatu.

Pertama karena tebalnya luar biasa.

Kedua karena alamatnya.

Dia rumah nomor sebelas, hanya berjarak empat petak dari rumahnya sendiri. Setiap pagi dia melewatinya kalau berangkat kerja, setiap malam dia melewatinya sekali lagi ketika pulang kerja. Dalam samar-samar ingatan Sepatu, teras rumah 11 telah disulap jadi kebun beraneka warna. Sepatu kebingungan demi apakah seseorang mengubah rumahnya jadi begitu. Namun dia tetap lewat, tak pernah peduli, tak pernah mencari tahu.

Juga tak pernah bertemu dengan penghuninya.

Ketika rumah itu—alamat itu—mengirimkan sebuah draf teka-teki silang yang tebal sekali, pikiran Sepatu langsung kacau-balau. Dia ingat penghuninya—nenek penggemar anggrek yang dilihatnya masuk ke rumah kosong nomor 28 di Kamis-Kamis tertentu. Dia memutuskan mengecek empat draf lainnya, tetapi tiba-tiba saja dia jadi begitu lambat. Dia amatir tua yang tak tahu membedakan lima huruf dan enam huruf, membedakan petak hitam dan petak sponsor, serta salah mengurutkan kunci jawaban. Dia terus menua sambil memikirkan kenapa amplop cokelat itu lolos seleksi administratif padahal yang tercantum cuma alamat, tanpa nama.

Sepotong pun.

Bagaimana petugas pos bisa begini lalai?

Jadilah sesorean Sepatu mengecek draf dengan serampangan. Sisa waktunya—yang seharusnya dia pakai untuk menyelamatkan karirnya—hanya dipakai untuk menatap detik-detik jam dinding.

Jam pulang, Sepatu bergegas. Dari lima draf, tiga sudah selesai, dua belum. Yang dua dibawanya pulang demi mengesatkan rasa Senin di kerongkongan.

Komuter memanggang daging dan keringat manusia selayaknya dendeng.

Sepatu nyaris berlari ketika turun dari kereta komuter. Dia berjalan agak terlalu cepat di trotoar kawasan hijau kota, nyaris bertabrakan dengan sepeda motor. Matanya tak lagi petak-petak hitam dan putih seperti sewaktu muda dulu, tetapi tetap saja dia menabrak benda besar, tinggi, dan keras.

Tiang lampu jalan.

Tidak, penyebab dia jatuh bukanlah matanya.

Dia ingin segera menyelidiki rumah 11 sebelum hari benar-benar gelap; itu saja.

Pukul 18.42, matahari masih menoleh ke sore. Sepatu baru menapak masuk ke kompleksnya—penjara barunya. Pemandangan lazim berlalu-lalang. Seorang pria kuyu mengeluyur keluar melewati plang nama "dr. Raintaura Indrayani". Tangan satunya memeluk ulu hati, satunya lagi menenteng kantong plastik. Abra Tugiman masih memakai blus kotak-kotak hijau-putih dan rok hijau (demi apa taman kanak-kanak menyiksa dia yang baru berumur lima tahun itu?). Rini, ibunya, bolak-balik di teras.

Untung Sepatu tidak lupa pada alamat yang ingin diselidikinya.

Sekilas, rumah itu benar-benar habis dilalap pasilan. Sebuah kotak surat terpancang di pagar depan, nyaris tertutup seluruhnya oleh rimbun dedaunan. Sulur-sulur parasit melilit di segala tiang, hingga tak tampak di mana pasaknya. Penghuninya perempuan tua. Masih berjalan tegak. Ke mana-mana membawa botol semprotan air.

Betapa kamus besarnya taman pasilan ini.

Sepatu membatin. Ini menarik. Perempuan tua, menanam bunga di sekujur rumah, dengan anggrek pula.

Sebuah bunga yang indah tetapi parasit dan diam-diam mencekik tanpa rasa sakit.

Detik itu, Sepatu mulai merasakan dingin menjalari punggungnya, naik ke sela belikat.

Dia memutuskan menjauh saja.

Melangkah, melangkah, melangkah menuju rumah.

Yang cuma tiga petak lagi.

"Hai, Sepatu. Tunggu."

Rupanya begitu suara perempuan tua itu. Lembut seperti bubur bayi. Empuk seperti bantal berdakron pejal. Susah digambarkan, tetapi enak didengar.

Mengherankan. Suara itu tahu namanya.

"Sepatu, kan? Kiriman saya sudah diterima, belum?"

Sepatu membalik badan. Dipanggil orang tua lalu tak menyahut itu namanya kurang ajar. Dia belum mau dikutuk jadi batu. Apalagi jadi logam. Dia mengangguk, lalu menyebut namanya.

"Kiriman yang mana ya Bu?"

"Teka-teki silang. Ini Sepatu dari majalah Sonrisa kan?"

Sepatu tak lagi bisa mengelak.

"Aha, benar! Saya penggemar Anda, Sepatu. Mampirlah ke rumah, mumpung lewat sini."

"Setiap hari saya lewat sini, kok, Bu."

"Rumahmu cuma empat petak dari sini, kan? Ayolah. Sesekali."

"Ah, Ibu.... Saya...."

"Tak usah sungkan-sungkan."

"Maaf, Bu...."

Alamatnya: sudah benar. Orangnya: sudah mengaku.

Tinggal namanya.

Dan sebuah keanehan: perempuan tua itu bisa membaca pikiran Sepatu.

"Oh ya. Perkenalkan, nama saya Linda."

Berikan Tanda SilangWhere stories live. Discover now