[01] 1 Menurun

2.3K 198 29
                                    

2032

Sepatu tak pernah peduli pada apa pun.

Baru sekarang dia merasakan akibatnya.

Sudah lama dia mendengar turunnya minat baca manusia. Sudah sering pula ada kabar media cetak tutup. Robot yang diajari manusia agar bisa jalan, malah kemudian menutup jalan karir manusia. Mereka tak bisa dikutuk jadi batu, karena mereka sudah logam. Menyaksikan oplah majalah tempat dia menggantungkan hidup semakin terjun bebas, Sepatu tetap bergeming di kursinya—seolah dengan diam saja, semua beliung itu tidak akan menghantam hidupnya.

Sayangnya, cara kerja hidup tidak begitu.

Tidak semudah masuk pukul delapan dan pulang pukul lima dari muda hingga tua.

Sejak tiga tahun lalu, Pimpinan Redaksi menggelar rapat yang lantang, intens, dan berbau anyir. Sepatu pernah diajak, lalu karena dia kelamaan masuk kamar kecil akibat diare, dia tidak pernah diajak lagi. Beberapa disembelih tepat di hadapan foto presiden dan wakilnya. Darah menetes-netes sampai koridor, dan korbannya tak pernah terlihat lagi.

Sejak dua tahun lalu, petak kubikel dibesarkan. Tadinya muat dua belas meja, sekarang muat enam. Sepatu bertanya tentang enam meja yang pergi begitu saja. Orangnya masih baik-baik saja kemarin. Hari ini mejanya hilang. Enam meja dalam setahun serasa bermain rolet Rusia—mati itu pasti, cuma masalah waktu.

Kemarin malam, Pimpinan Redaksi menata kembali ruangan kantor untuk kesekian belas kalinya dalam tahun 2032 saja. Dia menyuruh dua buruh robotik mencopot foto presiden lama dengan Presiden Baru tetapi foto wakilnya dibiarkan saja karena orangnya masih sama. Setangkai obeng bunga jatuh ke lantai, tepat mengenai sebuah bingkai kaca pembungkus piagam penghargaan masa kerja lima belas tahun. Robot dibayar dengan potong denda kerusakan. Pimpinan Redaksi kelelahan, langsung pulang tanpa membersihkan hambur kaca dari piagam itu.

Pagi datang dan beberapa beling masih tidur di karpet. Sepatu yang tahu duluan: piagam kebanggaannya, baru didapat tahun lalu, tahu-tahu tinggal selembar kertas. Menguning dan berdebu di sebelah beling yang sara bara.

Bingkainya hancur begitu saja dan tak ada yang peduli.

Kecuali serak beling yang mengilat di lantai.

Usai memunguti kepingan piagamnya, Sepatu menaruh tas, mengambil botol air, langsung menuju penanggah. Ruangan kosong tetapi sepasang galon sama-sama penuh. Penanggah beda dengan dulu yang pampat aroma makanan, kini hanya ada aroma kematian.

Sekretaris Besar duduk dekat sana dengan Sekretaris Kecil. Mereka tak melihat Sepatu.

"Imprint yang sana mau dicabut. Sampai November ini saja."

"Tanggung!" sahutan menggelegar dari mulut penuh makanan, "kenapa enggak sampai tahun baru?"

"Lebih untung tutup sekarang. Desember siapa yang mau ngirim-ngirim buku ke pembeli?"

Dalam tahun ini, sudah ada empat omongan serupa, tiga di antaranya jadi kenyataan. Semua yang berasal dari mulut Sekretaris Besar. Mulut yang mahabenar di kantor Sepatu.

"Ya gitu. Pada ngirim-ngirim kuis doang, mungkin."

Kuis. Sesuatu yang tak pernah disebut dalam percakapan kasual selama beberapa tahun terakhir. Mendengarnya saja membuat tangan Sepatu sontak berkeringat. Botol hampir lepas dari genggamannya.

"Kuis? Oh. Dear, untung kamu bilang. Aku baru ingat kata Bos semalam."

"Apa itu?"

Botol air Sepatu sudah penuh. Karena bernapas tidak harus berbunyi dan bayangannya masih tersembunyi, Sepatu masih saja berdiri di situ.

Berikan Tanda SilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang