Prolog

5.2K 418 46
                                    

1997

Busa halus mengalir lewat beku sudut bibir seorang anak laki-laki.

Kuharap itu bibir anak tetangga.

Atau anak sebaya dari masa kecilku.

Atau sekadar tayangan televisi.

Bukan. Semua bukan, sayangnya.

Anak itu D'Karunia.

Anak Jean. Anakku sendiri.

Aku di pintu dapur, terpancang bersama penetak telur dan mangkuk, bahkan tak mampu menjatuhkannya. Sendok, serbet, pemukul bisbol, tiang penggantung jaket; semua diam di tempat, menungguku memilih satu dari mereka. Jean pernah mengajariku seratus satu cara untuk menangani kedaruratan medis—terbakar, teriris pisau, terkilir—tetapi tak satu pun ajarannya menyinggung soal kelojotan. Dia pernah tiga kali membantuku membetulkan tungku elektrik yang berkelojotan. Lepaskan kabel di belakangnya dari steker, pasang lagi. Pergilah mati, lalu hiduplah kembali. Mulai dari awal lagi. Masalah pun sirna.

D'Karunia tidak punya kabel di belakang tubuhnya. Aku dan Jean tidak menciptakannya demikian. Dia cuma anak laki-laki biasa. Dua tahun dua bulan lalu lahir dengan cara biasa, dengan darah daging dan tulang yang begitu biasa. Dengan kesehatan sebagaimana anak biasa.

Aku berjongkok di sebelah badan kecilnya, yang kadang lurus kadang busur, tanpa bisa dia atur sendiri. Baskom, waslap, air hangat saling balap. Tanganku berlomba melawan pelipis yang berdenyut-denyut, melekit oleh keringat.

Waktu kecil dulu, aku pernah menyaksikan pemandangan serupa pada teman sekelas. Bapaknya guru seni musik di sekolah kami, gemar menyodok dada tanggung anak-anak gadis dengan pangkal gitar. Anak itu sama saja dengan bapaknya: sama-sama nakal, gemar menggoda, tangannya tangan setan, dan meresahkan. Ketika dia ada, semua menahan napas. Kalau dia tidak ada, semua menghela lega. Kalau saja mendoakan anak lain celaka itu tidak dilarang oleh Pemerintah, oleh Sekolah, dan oleh Orangtua; pasti kami sudah melakukannya berkali-kali. Tetapi di suatu Senin pagi yang mataharinya sangat terik, gerak hormat bendera pun tak sanggup dia lakukan. Dia terjengkang ke tanah. Badannya kelojotan. Tak lama, busa halus menetes-netes dari bibirnya yang kelabu kebiruan.

Kupikir busa itu merembes keluar usai merajang dosa-dosa dalam dagingnya.

Atau busa itu sisa cucian yang membuat mata cokelatnya terlumat jadi putih semua.

Atau busa itu dianggap sebagai busa betulan, bisa membersihkan lapisan minyak pada kain atau sendok yang dipasangkan guru matematika demi mengekang dua rahangnya.

Aku tak sempat menyaksikan anak itu diombang-ambing tangan tak terlihat. Beberapa guru menarik lenganku, menjauh saja, jangan dekat-dekat. Setan bergerumbul di sana, putar-putar, bukan tak mungkin aku ikut digandeng. Pulang ke rumah, Mama menyebut itu hari setan berkeluyuran. Dia menyuruhku mendekam di balik lemari. Di dekat situ ada jendela. Berita begitu cepat terlontar dari mulut ke mulut; dan isinya sama semua.

Anak guru seni musik kalah dalam duel sakratulmaut. Ketika kami memasang kuping atas berita itu, dia telah mati.

Aku puas.

Setidaknya satu kali dalam hidupku yang baru sepuluh tahun, Setan menjemput anak yang tepat.

Tetapi aku tak pernah tahu apa saja kriteria seorang anak bisa disebut Tepat atau Tidak Tepat di mata Setan.

Buktinya, Setan yang sama—yang tak pernah menua antara tahun 1975 dan 1997—berniat menjemput D'Karunia.

Anak Jean. Anakku sendiri.

Anak yang dalam kacamataku takkan pernah jadi anak yang Tepat di mata Setan.

Sambil memegang kain kompres, aku menatap tebing cokelat yang memantul-mantul di tepi atas putih matanya. Aku tahu tetangga kerap membicarakan obat panas yang dimasukkan lewat bokong. Namun, Jean tak pernah merasa perlu menyetok obat semacam itu di rumah. Mungkin Jean tak pernah menduga D'Karunia bisa seserius ini. Semua gejala sakitnya rutin bolak-balik sejak bayi. Ketika kejang mulai bolak-balik menghantamnya, D'Karunia sering demam.

Seperti Jean dan adiknya Paul yang bolak-balik demam sepakbola di masa-masa Euro 1996.

Tetapi secepat apa pun badai itu datang, pasti ada waktu buatku untuk bersiap-siap.

Tidak sebegini cepat.

Cepatlah, perintahku pada diri sendiri.

Nanti dia mati, ancamku, sebagai imbuhan yang mengekor.

Aku dipaksa untuk cepat, padahal dulu anak ini dirakit dengan begitu lambat.

Tiga tahun lalu, masih di geladak; Jean menyelinapkan buluh tubuhnya pada pintu bawah tubuhku. Selagi kami maju dan mundur dalam remang, dia menjanjikan benih terbaik, dan aku menjanjikan kebun bunga yang akan selalu bertumbuh.

Sembilan bulan kemudian, ganti anak itu yang menyelinap, mengetuk pintu yang sama, sakit bukan main.

Dia mengisi siang dan malamku dengan kerepotan yang luar biasa, tetapi masa-masa itu begitu membahagiakan. Mengisi tubuhku hingga penuh dan tumpah-tumpah. Segenap taman surga dan para malaikat terkemas dalam tiga ribu dua ratus gram yang menangis keras. Di saat yang sama, aku berpikir keras, kapankah anak ini besar. Aku ingin bisa segera bercakap-cakap dengannya.

Bukan menatap kemilau busa yang terus menetes dari biru bibirnya.

Busa itu meletup-letup di pipi, semakin banyak.

Bahkan mengalahkan banyak busa dari sela bibir anak guru seni musik.

Basah tanganku kupaksakan meraih gagang telepon.

Kuputar angka-angka yang bolak-balik di kepala.

Tetap saja susah mengingat dengan jernih kalau keadaan tengah genting begini.

"Bawa ke rumah sakit saja, Lin."

Suara tegas Jean menguar lewat pelantang telepon putar. Rendah dan memerintah. Jauh dari pulau antah-berantah. Banyak keresek angin laut berusaha menampar kelancaran komunikasi jarak jauh kami. Sama saja dengan orangtua kami.

"Jangan sampai lima menit, Lin. Begitu pesan D'Roket."

Astaga! Sudah berapa menit dia begini?

"Lin, obatnya ada di rumah D'Roket. Coba kamu pakaikan itu dulu. Sambil bawa ke rumah sakit."

D'Roket. Dokter itu lagi. Dokter penelanjang lapis-lapis privasi kami yang kerap kuhindari.

Aku berlari ke kamar, mengambil kain-kain tebal, demi membungkus badan D'Karunia.

Semoga belum terlambat.

Tanganku meraih gagang pintu depan.

Di balik daunnya, seseorang sudah berdiri di sana.

Padahal aku tidak meneleponnya.

Berikan Tanda SilangWhere stories live. Discover now