"Kuis mau dihapus juga dari rubrik hiburan."

"Ah yang benar?"

"Realistislah. Pembaca lebih senang menyaksikan artis berputar-putar dalam rumah. Tinggal di-zoom-in zoom-out. Kurang enak apa? Enggak perlu apalah namanya itu... asah otak? Diasah-asah juga, kalau sudah waktunya, tumpul sendiri kok!"

Seharusnya Sepatu sudah membaca tanda-tanda.

Piagam yang tintanya dicetak dengan darah, daging, dan tulang selama lima belas tahun bisa dengan mudah hancur.

Apalagi rubrik di majalah yang dirasa tak penting lagi.

Tinggal dirobek.

Dan jatuhlah dia.

*

Jumat, 11 November 2033

"Kita tidak bisa begini terus."

Perempuan itu memutar-mutar gelas bir, sementara Sepatu pelan-pelan tabah menghidu beragam aroma sigaret seraya melonggarkan leher dasinya. Jumat malam minimal lima ratus ribu, bertebaran karcis bioskop bekas, asbak, kartu kredit, dan decit-decit ciptaan disjoki. Dari balik pekat ribut-ribut diskotek dan liuk-liuk tubuh, dia pura-pura tak mendengar Sepatu.

"Marini."

Tak bisa mengelak dalam kepura-puraan lagi, dia mengedikkan bahu, melengos, dan beringsut ke sisi dalam sofa—menjauh dari gapaian tangan Sepatu yang masih berusaha menggamitnya.

"Pat, kali ini apa? Soal uang lagi?"

Sepatu diam. Di tenggorokannya berputar-putar ratusan kata yang tercekik embus napas bau martini.

"Tinggalkan aku saja, kalau begitu."

"Dengar saya dulu, Mar."

Marini menaikkan kerumitan roknya, menyingkap kelim-kelim yang entah stoking entah garter. Agak terlalu ke pangkal selangkangan. Dia melepaskan kertas lipat tiga, menyodorkannya ke Sepatu. Remang lampu memantulkan warna merah. Kemudian wajah para proklamator. Dua jenis bapak yang memerdekakan anak cucu, sementara anak cucu sibuk memilih penjara masing-masing.

Pacar tukang tampar.

Orangtua tukang sakit.

Ikatan jam kerja.

Belitan sulur utang.

Kempitan liang pelacur.

Tabungan bersaldo minim.

Kekurangan waktu.

Ya, waktu.

Dialah akar dari segala masalah, tiran paling kejam, dengan puluhan muka yang tak sama di seluruh dunia.

"Ini, Pat."

Tangan Sepatu mengelak, mendorong uang berbalik ke dada Marini. "Saya tidak mau begini, Mar. Kita harus ngomong dulu."

Marini menurunkan rok seperti menata ulang lego yang hancur.

"Untuk apa lagi kita bicara, Pat?"

"Ini tidak seperti yang kamu kira, Mar. Beri saya waktu sebentar."

Lama Marini memandang teman main gelapnya. Sepatu yang tak pernah punya cukup uang. Sepatu yang terlalu larut dalam hedonisme masa muda yang sebentar lagi berlari meninggalkannya. Sepatu yang tak berani melangkah keluar dari zona nyaman. Dia memindai lelaki itu dari rambut hingga kaki. Lalu raut mukanya, yang digelayuti kerlap-kerlip lampu dan ketidakpastian saban Jumat malam. Dia ragu sejenak. Biasanya dia memberi kesempatan satu kali lagi untuk Sepatu, dan itulah yang terjadi berulang-ulang hingga sekarang.

Berikan Tanda SilangWhere stories live. Discover now