Senyum guru BP megembang lebar. Selebar senyum puas perempuan itu dan anak-anak lainnya. Namun lebih dari itu semua, perempuan itu merasa lega. Bahwa seperti yang Hujan katakan, tujuan tindakannya adalah benar. Dan ia tak perlu takut untuk memperjuangkan itu. Karena pada akhirnya, Tuhan akan membalas setiap kebaikan yang telah ia lakukan. Tuhan tak pernah berutang.

Beberapa orang di belakangnya, meskipun sebal karena mendapatkan hukuman, tetapi mereka sama puasnya seperti perempuan itu. Mereka mengguncang-guncang bahu perempuan itu girang. Senang karena berhasil membalas perbuatan gank tersebut. Terlebih, gank itu juga sudah mendapatkan ganjaran atas perbuatan mereka.

Perempuan itu pulang dengan langkah ringan. Ia menemui hujan yang sedang duduk di dipan, di halaman belakang rumah mereka. Ayah perempuan itu yang membuatkannya dulu. Diletakkan persis di bawah pohon, dan sekarang menjadi pusat interaksi perempuan itu dan Hujan.

Tawa keduanya berderai seiring apa yang diceritakan si perempuan. Hujan mengangsurkan satu kaleng minuman yang dibelinya tadi, sementara satu lainnya untuk dirinya sendiri. Suara dari tekanan udara ketika kaleng dibuka mendesis. Hujan menenggaknya perlahan-lahan.

"Terus, apa yang mereka lakukan setelah protesnya nggak diterima?" tanya Hujan.

"Simple. Guru BP punya senjata kedua. Yaitu Kepala Sekolah. Siapa yang berani melawan Kepala Sekolah? Semua aduan sudah ditulis di buku kasus, guru BP tinggal melaporkan. Beres kan?"

"Bisa saja mereka gantian meneror gurunya."

Perempuan itu menggeleng. "Nggak akan," jawabnya yakin. Kedua alis Hujan terangkat mengisyaratkan tanya. Apa yang telah membuat mereka jera sekarang?

"Kasus kita yang dipanggil BP udah nyebar. Seisi sekolah tahu kalo kita udah balas dendam ke mereka. Dan sekarang anak-anak udah nggak takut lagi. Kalo mereka macam-macam, satu sekolah siap membela."

Hujan manggut-manggut paham. Ia mengangkat kaleng minumannya tinggi-tinggi, "Cheers for our success."

"Cheers!" Perempuan itu menanggapi.

Mereka bertahan di dipan kayu itu hingga malam nyaris menjelang. Berbagai obrolan terulur seiring waktu yang beranjak. Perempuan itu hanya pergi sejenak meninggalkan Hujan untuk mengambil makan malam untuk mereka dari dapur sang Ibu. Camilan berbahan cokelat juga dihidangkan, serta minuman kaleng yang berganti dengan susu hangat.

Waktu seakan tersedot cepat. Sebuah pamit di ujung pintu memisahkan kebersamaan mereka malam itu. Sebelum mereka masuk, Hujan menunjuk ke arah langit. Perempuan itu mengikuti ujung jari Hujan mengarah. "Apa?" tanyanya.

"Bintangnya terang malam ini," jawab Hujan.

"Itu karena langitnya cerah." Perempuan itu menjelaskan.

"I'll be one of them."

"Lo udah nggak suka hujan lagi?"

"Bukan gue yang suka hujan. Tapi lo."

Perempuan itu hanya merespon dengan melirik kembali ke arah langit. Mungkin mengiyakan apa yang dikatakan Hujan. Mungkin juga tak ingin mengaminkan keinginan Hujan untuk menjadi salah satu bintang terang di langit sana. Sebab ia tahu, bintang terlalu tinggi untuk digapai. Sedang Hujan selalu rela untuk turun kembai ke bumi.

Karena ketika ia menutup pintu, ia takut, ia tak bisa melihat Hujan lagi esok hari ketika membukanya.

"Jadi kita kan masuk ke part kehilangan itu?" tanyamu, usai kalimatku berakhir.

"Cerita ini memang tentang kehilangan. Tentang kenangan dan hujan juga."

"Dan lo mau naruh part kehilangan itu sekarang?"

"Yes. And what's the matter?"

"Lo tega."

"Tega?"

"Iya. Gue baru mencoba menikmati kebersamaan perempuan itu dan Hujan. Tahu-tahu, Hujan udah mau pergi aja."

"Kalau gue bisa bikin begitu. Gue juga maunya nggak ada yang pergi. Nggak perlu ada perpisahan, nggak perlu ada kehilangan. Tapi kenapa sih, hidup selalu punya bagian sedihnya?"

Kamu memajukan pandanganmu. Kamu mendekatkan wajahmu ke arahku. Seolah ada rahasia besar yang ingin kamu bisikkan dan kamu tak ingin orang lain tahu. Suaramu terdengar rendah dan kalimat itu kamu ucapkan dengan perlahan-lahan,

"Lo tahu kenapa ada kehilangan?" tanyamu. "Supaya kita belajar untuk mencintai apa yang masih kita punya saat ini."

Berkebalikan denganmu. Aku langsung menarik mundur wajahku. Duduk bersandar pada sandaran kursi. Menatapmu tak setuju.

"Seberapa lo paham arti kehilangan itu?"

"Sepaham gue tahu rasanya pengin meluk semua yang gue punya sekarang, supaya nggak pergi lagi."

Aku menelisik lebih dalam pada kedua bola matamu. Aku ingin bisa mengerti apa yang kamu pahami itu. Namun kamu menundukkan pandangamu segera. Membuatku tak bisa mencari tahu lebih.

"Apa Hujan akan pergi? Atau perempuan itu yang pergi?" tanyamu.

* * *

Hujan dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang