Adrian sendiri tidak pernah mengetahui dengan pasti siapa atasannya selama ia berada di dalam organisasi tersebut. Menurutnya ada sebuah kamar di hotel yang akan disewa secara acak setiap hendak menjalankan misi, dan mereka akan mendapatkan info mengenai target dan juga skenario pembunuhan yang harus dilakukan di dalam sebuah amplop berwarna merah.

Mereka akan mendapatkan kunci kamar tersebut melalui sebuah permainan kasino. Jika ada seseorang yang memiliki tato yang sama seperti yang ada di tangan Lay memenangkan permainan, maka kartu kamar tersebut akan diselipkan di sela hadiah yang didapat.

"Tidakkah misi ini terlalu beresiko bagi Adrian?" tanya Ivy. "Bagaimana pun juga ia pernah menjadi bagian di dalamnya, orang-orang pasti akan mengenal wajahnya dengan mudah. Belum lagi kita tidak tahu bagaimana Adrian keluar dari tempat itu sebelumnya. Apakah leader tidak memperhitungkan hal itu?"

"Kurasa Luke sudah berpikir jauh ke sana," jawab Elis.

Cass mengangguk, di antara mereka Elis merupakan salah satu yang paling dekat dengan sang ketua, karena ia pernah memergoki keduanya sedang berciuman di ruangan serba guna ini. Entah bagaimana hubungan keduanya di balik layar pekerjaan mereka sebagai seorang agen, namun di hadapan semuanya mereka bersikap professional.

"Baiklah, kalau begitu aku yang akan pergi ke Kangwun Land," ujar Ivy.

Cassandra mengangguk. "Aku akan menemanimu bersama dengan Will."

Ivy terkekeh pelan. "Aku berani menjamin seratus persen jika Martin akan menggatin jobdesk milik Will di sana setelah tahu bahwa kau yang akan pergi, Cass."

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Martin menyimpaan perasaan lebih terhadap Cassandra. Bahkan ia sering menunjukkannya secara gambling. Namun Cassandra tidak pernah menggubrisnya, karena sesungguhnya hatinya sudah terisi oleh orang lain.

"Alea, bagaimana denganmu?" tanya Elis yang membuat Alea kembali pada kesadarannya.

"Ah, aku?" jawab Alea kikuk. "Um, mungkin aku akan mengobservasi hotelnya bersama Daniel."

***

Pukul sepuluh pagi keesokan harinya Alea kembali menginjakkan kakinya di ruang latihan, di sana Adrian sudah menunggunya seperti biasa.

"Kudengar kau akan ikut di misi kali ini," tanya Adrian sebagai ganti kalimat sapaan.

Alea mengangguk. "Tidak mungkin aku hanya berdiam diri terus di markas bukan?"

"Baiklah, kita lihat hari ini."

Adrian segera memadamkan lampu dan dalam kecepatan sekejap kilat sudah melangkah mendekati Alea. Alea yang instingnya kini sudah terlatih di dalam gelap pun segera menghindar. Ia melakukan beberapa teknik bela diri dengan tangan kosong.

Setelah mengetahui mengenai masa lalu Adrian, kini Alea memandang pria itu dengan sedikit berbeda. Entah mengapa ada bagian kecil dari hatinya yang merasa kecewa. Alea selama ini melihat sosok Adrian sebagai sosok laki-laki yang baik, karena meski kata-katanya setajam pisau, ia tidak pernah benar-benar melukai Alea selain dari latihan pertamanya.

Suara pisau yang terjatuh ke lantai membuat keduanya menghentikan pergerakkan. Setelah pergulatan yang cukup sengit, Alea telah berhasil menjatuhkan pisau dari tangan Adrian, yang berarti bahwa ia telah mengatasi ketakutannya sepenuhnya. Perjuangan yang tidak sia-sia.

Adrian kemudian menyalakan lampu ruangan, kemudian ia berucap, "Selamat, kau telah memenangkan pertarungan dengan dirimu sendiri."

Alis Alea berkerut, tidak mengerti dengan ucapan Adrian. "Ketakutan itu berasal dari pikiran, dan pikiran itu hanya kau yang bisa mengaturnya. Selama ini kau hanya bertarung dengan dirimu sendiri, bukan aku."

Alea kemudian mengangguk, ia paham maksud dari kalimat Adrian barusan. Lalu batinnya bertanya, mungkinkah pria ini benar-benar tega menjadi seorang pembunuh bayaran?

"Baiklah, kalau begitu latihan ini kunyatakan selesai," ucap Adrian seraya beranjak pergi.

Pikiran Alea buyar saat melihat tetesan darah yang turun ke lantai ruang latihan. Dan itu berasal dari tangan Adrian. "Tunggu!" cegah Alea.

Alea kemudian menarik tangan Adrian yang terluka. Sepertinya akibat pertarungan mereka tadi. "Tangan kamu terluka."

Adrian menarik kembali tangannya. "Hanya luka kecil," ujarnya remeh.

"Luka sekecil apa pun tidak boleh diremehkan, kita tidak tau apa saja yang bisa saja terjadi akibat luka itu!" sungut Alea kesal. Kemudian ia menarik Adrian untuk keluar dari ruang latihan menuju ruang serba guna. Ia kemudian menyiapkan peralatan membersihkan luka dan juga balutan untuk menutup luka milik Adrian.

Adrian hanya pasrah menerima segala perlakuan Alea, ia mengerti jika perempuan tidak dituruti maka urusan akan semakin panjang.

Alea membersihkan luka di tangan Adrian dengan saksama. Kemudian ia membalutnya dengan gulungan kasa steril yang terdapat di kotak P3K ruangan. "Jangan pernah meremehkan luka sekecil apa pun lagi," ujar Alea menasihati. Kalimat itu membuat pikiran Adrian melayang ke masa lalu.

Kau juga pernah mengatakan hal yang sama kepadaku, Iris. Tapi kenapa?

Enigma - EXOWhere stories live. Discover now