8.

150K 9.8K 3.9K
                                    

8.

PING!

PING!

PING!

Bunyi ping! tiga kali dari blackberry-nya membuat Geri terpaksa membuka mata dan mengerang sebal. Menebak-nebak siapa orang yang sudah mengganggu waktu tidurnya. Ternyata sudah pukul enam pagi. Jemarinya meraih ponsel di bawah bantal. Pesan dari Dinda.

Selamat pagi, Hon-Hon. Bangun dong, nanti jemput gue yaaaa? Ongkos angkot kan lumayan mahal. Okkkk?

Geri mengesah, mengacak rambutnya frustrasi, lantas dia balas dengan capslock.

NGGAK. BERANGKAT SENDIRI, G USAH MANJA!

Lalu dia berniat untuk memejamkan matanya lagi, sampai akhirnya ponselnya itu berdering hebat mengirimkan PING! berkali-kali. Geri memilih untuk menonaktifkan ponselnya dan bersiap-siap mandi.

Sedangkan Dinda, cewek itu merutuk sebal, mengucap sumpah serapah ke udara. "Dasar cowok sialan, nggak ada romantis-romantisnya banget sih jadi cowok!" teriaknya, kalau dulu ada Bi Umnah yang akan merelakan diri sebagai samsak pelampiasan seandainya dia sedang kesal, kini tidak ada lagi. Dinda akhirnya bersiap-siap sekolah. "Hih, belum digosok lagi!" karena melihat baju seragamnya lecek parah, Dinda meluangkan waktunya untuk menggosok.

Selama dia hidup, Dinda nyaris tidak pernah menyentuh gosokan. Ya iyalah. Di rumahnya ada Bi Umnah dan banyak asisten rumah tangga yang bekerja. Alhasil sekarang dia kesulitan, bahkan menggosok baju pun tidak bisa. "Awh, shit," Dinda memekik sewaktu jari telunjuknya tanpa sengaja menyentuh gosokan dan melepuh. Dia spontan mengemut jemarinya yang kepanasan.

"Baju gue!" Dia berteriak lagi saat bajunya hampir gosong karena terlalu lama di bawah setrika. Dinda segera mencabut setrika. Terburu-buru mandi, berpakaian, dan menyisir rambut pirang sebahunya.

Rumahnya sudah berubah kembali jadi kapal pecah dalam waktu seperkian menit. Kaus kaki bertebaran di mana-mana, handuk basah berada di atas kasur, pakaian kotornya ada di lantai, jepit dan bandana rambutnya tersebar di meja dekat cermin. Tanpa sarapan, dia segera keluar rumah saat jarum pendek di jam tangannya menunjuk ke pukul setengah tujuh pagi.

****

Geri turun dari sepeda motornya, melepas helm, jaket hitamnya yang terdapat bacaan F*ck Society di bagian punggung, dan berjalan masuk ke gerbang sambil menggantungkan tas ransel bertumpu di bahu kanannya. Bertepatan sewaktu dia ingin masuk, matanya menangkap Raini juga baru datang. Tapi cewek itu terburu-buru menghindar begitu menemukan Geri di sebelahnya, Geri mendesah jengkel. "Segitunya ya mau ngehindarin gue?" teriaknya sampai jadi pusat perhatian.

Pandangan Geri tertuju pada papan pengumuman yang terlihat ramai. Seluruh murid berkumpul di sana—pemandangan terlangka—sejak kapan papan pengumuman dipadati oleh siswa? Karena biasanya yang ditempel di sana hanya puisi tentang guru, terima kasih guru, atau cerpen cinta picisan. Dan yang mau meluangkan waktu melihat papan pengumuman hanya dari golongan anak kutu buku yang gemar membaca. "Eh, ada apaan?" Geri bertanya pada salah satu anak cowok yang baru saja melihat.

Cowok itu tergeragap, terlihat ketakutan. "Aaa—itu—ada, foto—"

"Apaan sih?"

"Itu ... Kak—" Geri melihat badge kelasnya. Kelas sepuluh. Pantas setakut itu.

"Nggak guna ya gue nanya sama lo, dah awas minggir," bentaknya kesal. Adik kelasnya itu segera lari.

Dengan tubuh tingginya, Geri punya leluasa untuk bergerak maju dan akhirnya bisa melihat apa yang ada di papan pengumuman. Foto Dinda, foto yang pernah Rio tunjukkan di klub malam setelah Rio mencurinya dari galeri ponsel Dinda. Geri melihat Dinda yang berdiri di depan kerumunan itu, cewek itu awalnya membeku, wajahnya memerah, lantas detik berikutnya dia berlari untuk merobek semua foto yang ada di papan pengumuman.

KISAH UNTUK GERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang