Kisah Untuk Dinda #4

7.7K 676 21
                                    


Seseorang pernah bilang bahwa untuk mengetahui karakter asli seseorang, bisa dilihat dari bagaimana caranya membicarakan orang lain. Dinda jadi mengetahui bagaimana sifat asli Iren. Sesuatu yang paling kejam dan mematikan adalah kata-kata, dia bisa menjelma menjadi penyemangat di kala rasanya seseorang sedang berjuang, atau justru pedang mematikan yang membunuh hingga tak berdaya. Padahal Dinda masih berusaha untuk menyatukan mimpi-mimpinya, tapi semesta seolah berkonspirasi untuk terus menjatuhkannya berkali-kali, menyuruhnya untuk menyerah dengan mimpi sendiri. Dia sedang menunggu kereta di peron, tujuannya hanya satu. Dia ingin ke tempat Geri sekaligus meminta penjelasan. Menempuh perjalanan hampir dua jam, di tengah kota Jakarta yang macet dan cuaca panas, Dinda akhirnya sampai di depan kantor Geri.

Gedung yang berdiri kokoh seolah mengintimidasi, menampar Dinda dengan sebuah realita bahwa mereka berdua hidup di dua dunia berbeda. Geri yang sudah sukses akan pencapaian dan mimpinya, serta Dinda yang masih terus mengayuh untuk bisa menemukan. Dia melangkah masuk, seorang resepsionis menyapanya, Dinda sudah beberapa kali datang. Mereka sudah mengenal Dinda dan status hubungannya dengan Geri.

"Geri ada di ruangan?"

"Ada, dia—"

Dinda tidak mau mengulur waktu, dia segera berjalan menuju ke lantai tiga dengan lift dan berjalan ke ruangan Geri. Cowok itu sedang berdiri melihat pemandangan di luar jendela, mendengar pintunya dibuka tanpa mengetuk, Geri berbalik dan terkejut melihat kedatangan Dinda. "Kamu ke sini nggak ngabarin aku?"

"Aku berhenti kerja di salon Lucy." Mendengar kabar itu, Geri berjalan mendekat.

"Kenapa? Ada masalah? Kamu ribut dengan Kak Iren?" Geri berniat menyentuh pipi Dinda, tapi segera ditepisnya.

"Serius, kamu nanya tentang ini? Masalahnya di kamu!" Dinda berteriak, Geri melirik ke belakang punggung. Takut kalau obrolannya didengar oleh karyawannya dan menimbulkan perbincangan. Dia menekan tombol hingga sebuah layar otomatis menutup jendela menjadi serba putih dan tidak terlihat dari luar.

"Maksudnya apa? Aku nggak ngerti."

"Aku selama ini percaya, bahwa aku bisa kerja di salon Lucy karena kemampuanku, aku yakin kalau Iren suka dengan kemampuanku ... ternyata aku salah. Aku kerja di sana, karena kamu yang minta! Kamu mohon ke Iren supaya aku senang, lalu setelah setahun bekerja, kamu akan menikahiku dan memintaku untuk berhenti. Kamu menyuruhku untuk menyerah sama mimpi-mimpiku? Kamu egois, Ger. Memangnya kamu pikir, yang berhak bermimpi itu hanya kamu? Apa karena aku anak seorang koruptor, aku nggak pantas mempunyai mimpi?" Kalimat itu mengalir keluar, tanpa jeda, tanpa aba-aba.

Geri terdiam.

"Apa kamu pikir kalau kamu seorang Pangeran yang datang dan menyelamatkanku, akan membuatku kaya raya dan hidup bahagia dengan menikah? Aku bukan Cinderella yang hidup dalam negeri dongeng. Aku hidup di dunia nyata, Ger, dimana mimpi dan kebahagiaanku itu seratus persen tanggung jawabku!"

"Bukan gitu maksud aku."

"Terus apa?"

"Aku tahu gimana keinginan kamu untuk bisa masuk ke salon Lucy, berkali-kali kamu bilang itu mimpi besar kamu. Makanya aku berusaha wujudin itu—"

"Dengan memohon ke Iren yang jelas-jelas nggak mau mempekerjakanku, karena menurutnya aku sama sekali nggak berbakat, bahkan kemampuanku buruk dibandingkan seluruh karyawannya, dan dia mempertanyakan, apa yang aku lakukan selama berkuliah. Apa aku betul-betul belajar karena kemampuanku sungguh memalukan di matanya!"

Geri mengesah, tidak membalas kata-kata Dinda.

"Kenapa nggak jawab? Karena itu semua benar?"

KISAH UNTUK GERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang