Kisah untuk Dinda #5

13.4K 784 98
                                    


Suara alarm tidak berhasil membangunkan Dinda, yang membangunkan dia adalah suara speaker yang selalu dibunyikan tetangga sebelah tiap Kamis pagi karena diadakan senam bersama. "Aku tau kau mencari mamah muda ... Kau mendekati merayu rayu menggoda ... Aku tau kau mencari mamah muda ... Aku tau kamu tak betah di rumah, oke baik Bu sekarang ke kiri, kiri, kiri, kiri, kanan, kanan, kanan!" Dinda menutup telinganya dengan bantal. Oke, rasanya mustahil untuk tertidur lagi karena kantuknya sudah hilang.

Dia terbangun dengan seluruh tubuh terasa sakit dan mata berat karena semalaman menangis. "Dindaaa, bangun! Nenek buat semur lagi, nih." Teriakan Nek Asia melengking dari depan. Dinda beranjak dari kasur, membuka pintu. "Makan dulu. Kamu nggak berangkat kerja?"

"Udah berhenti."

"Lho?"

Dinda membuka pintunya lebar, mengambil mangkuk sayur dari Nek Asia dan meletakkannya di meja makan. Nek Asia mengikuti. "Kok bisa tho, Nduk? Kan baru berapa hari kerja?"

"Nggak suka, atasannya galak."

"Hm, gitu? Jadi mau tetap kerja di toko bunga?"

"Belum tahu juga."

Nek Asia menyisingkan helaian rambut Dinda. "Habis nangis, tho? Kok sembab?"

"Permisi ...," mereka berdua melihat ke pintu dan melihat sosok tinggi dengan balutan kemeja biru yang lengannya digulung hingga ke siku berdiri. Dinda mengernyit melihat kemunculan Geri.

"Ngapain ke sini?"

"Nenek baru inget lagi goreng pisang. Nenek tinggal ya, yuk, Nduk."

Nek Asia menyisakan Dinda dan Geri yang setia berdiri di depan pintu. Dinda mengambil secentong nasi, rasa laparnya kini bertubi-tubi, dia segera melahap semur jeroan buatan Nek Asia. Geri melangkah masuk, menarik kursi untuk duduk di depan Dinda sembari meletakkan satu sisir pisang dan seplastik susu kotak di meja. "Ada yang pernah bilang, katanya harus banyak makan pisang biar bahagia."

"Ngapain ke sini?"

"Aku mau minta maaf."

"Minta maaf buat apa? Kamu nggak salah apa-apa, kok, aku yang salah. Udah deh, nggak usah merasa bersalah gitu. Lagipula hubungan kita juga udah selesai, nggak ada apa-apa lagi." Dinda mengalihkan pandangannya, tidak mau menatap mata Geri yang menjadi salah satu kelemahan terbesarnya.

"Ponsel kamu nggak aktif, aku takut kamu kenapa-napa."

"Kalau aku mati juga bukan urusan kamu, kok. Tenang, kalau aku jadi arwah ... aku nggak bakal gentayangin kamu."

"Din," Geri melembutkan suaranya, "kemarin itu jangan dianggap serius, kita berdua cuma terbawa emosi. Perbuatanku emang salah dan udah sewajarnya kamu marah."

Dinda menyuap semur ke dalam mulut. Mengunyahnya dengan nikmat, berpura-pura tidak peduli, padahal kedatangan Geri cukup mengusiknya. Dia harus menahan keinginan diri untuk lari ke pelukan cowok itu seperti biasanya atau mengecup pipinya sebagai sambutan selamat pagi. "Aduh, Nek Asia pintar banget sih masaknya, kamu mau? Eh tapi, ini mah bukan selera kamu ya. Jangan deh, nanti sakit perut. Ini kan makanan kalangan bawah, nggak cocok buat kamu."

Mendengar itu, Geri justru mengambil sendok, menyuapkan jeroan ke dalam mulutnya dan menelannya bulat-bulat. Dinda menatapnya heran.

"Itu jeroan, lho."

"Terus?"

"Haduh kalau Kak Iren tahu kamu makan jeroan karena aku, dia pasti marah ... terus bilang, aduuuh nasib buruk apa sih yang menimpa adik aku, pasti karena Dinda nih—"

KISAH UNTUK GERITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang