Sebuah Babak Baru (5)

17K 586 5
                                    


Zanna melamun di gazebo taman belakang. Tempat yang jauh dari keramaian, tempat biasa ia menulis, menuangkan imajinasi yang mengawang-awang, sekaligus tempat mengajari Lintang membaca dan menulis di siang hari saat ia libur kerja.

Waktu berlalu semakin cepat. Ini sudah hari keempat setelah ia pulang dari rumah sakit. Pikirannya sedang kusut mengingat apa yang ditawarkan Abahnya, lanjut S2. Tapi rasanya ia tidak ada semangat untuk meneruskan kuliah, mendalami sastra atau masuk jurusan lain pun tak ada bedanya, ia tidak punya nyawa kearah sana. Ia hanya ingin pergi jauh namun entah kebelahan bumi yang mana.

Pernah tebersit bahwa dia harus pergi ke luar negeri seperti Mbak Sekar, tapi tidak mungkin. Dia tidak pandai berbahasa Inggris seperti kakaknya. Bahasa memang bisa di pelajari, tapi tidak dalam waktu yang singkat, sementara dia ingin segera meninggalkan rumah ini karena sudah tidak krasan lagi di sini.

"Zan, ada telepon buat kamu." Ibu sudah duduk di sampingnya, tangannya menyerahkan ponsel putih tipis milik ibu pribadi.

"Siapa, Bu?" kening Zanna berkerut. Sejak ia sakit sampai sekarang tidak ada orang yang mencarinya. Semua teman-teman di kantor sudah ia kabari jauh sebelum ia sakit, mereka tidak ada keperluan apapun dengannya, kecuali Wulan yang kemarin datang untuk menjenguknya.

"Bude Hanum, katanya mau bicara dengan kamu. Ibu nggak bilang kamu sakit, sudah angkat saja. Barangkali ada sesuatu yang penting." Ibunya bergegas meninggalkan Zanna seorang diri. Dan gadis itu segera mendekatkan ponsel di telinganya, sudah ada suara Bude Hanum, kakak ibunya yang tinggal di Pekalongan.

"Halo, Cah ayuku? Piye kabarmu, Nduk? Bude kok tiba-tiba kangen kamu sih, ada apa ya? Kamu sehat?" ujar Bude dengan ramah sekali.

Zanna di serbu oleh serentetan pertanyaan. Ia bingung harus menjawab yang mana dulu. Akhirnya ia tersenyum seolah Bude bisa melihat dirinya.

"Kamu sehat tho, Nduk?"

"Nggih, Bude. Zanna sehat kok. Ada apa Bude telepon, tumben sekali."

"Lha... memangnya ndak boleh Bude kangen-kangenan karo ponakane?"

Zanna tersenyum lagi, lupa kalau Bude tidak bisa melihat wajahnya.

"Cah ayu, Bude dengar kamu suka nulis ya? Langsung saja kalau begitu. Bude diceritakan ibumu kalau kamu berhenti kerja di surat kabar terkenal itu ya? Gini, jadi Bude ada kenalan yang kerja di kantor penerbitan di Jakarta. Lagi butuh orang di kantornya buat lowongan editor gitu lho, Nduk. Kamu mau tak tawari ini, gimana?"

Zanna sempat termangu sejenak, berpikir dan mencerna setiap kalimat dari Budenya. "Ehm... Jakarta ya, Bude?"

"Memang jauh sih, tapi mbakmu lebih jauh lagi perginya. Dia ke Eropa tho? Jakarta bukan apa-apa, wong masih dekat gitu kok. Nanti kamu bisa tinggal di apartemen Pakde Heru yang di Jakarta Selatan, tempatnya bersih dan bagus, sudah lama tidak ada yang menyewa. Gimana, mau?"

Dalam lamunan singkatnya Zanna memikirkan ini baik-baik, Jakarta memang dekat tapi ia belum pernah ke sana. Kalau Surabaya dan Jogja ia pernah beberapa kali ke sana sebab di ajak Abahnya mengikuti seminar.

"Ini kantor penerbit yang terkenal itu lho, Nduk. Yang buku-bukunya laris di pasaran. Kamu kan sudah ada pengalaman dua tahun di surat kabar, bisalah... ehm, nyambung juga kan sama jurusanmu?" Bude Hanum semangat membujuk Zanna.

"Zanna pikirkan dulu, Bude. Masih agak samar."

"Yo wis, Bude tunggu ya. Jangan lama-lama, nanti lowongannya sudah keburu di isi orang. Ini teman baik Bude yang kasih kabar lho, Nduk. Ya sudah, salam buat Abah dan Ibumu ya. Kapan-kapan Bude main ke sana, mau ada perlu juga sama Abahmu."

Nafas Cinta Zanna [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang