Pengakuan Cinta (3)

22.1K 663 8
                                    


Hati wanita seperti cermin, sekali retak oleh sebuah harapan yang tidak jadi nyata, maka cermin itu tidak mampu lagi memantulkan banyangan yang sama, banyanyangannya tidak utuh lagi.

Dua puluh empat tahun lebih Zanna mengenal Fajar, mereka cukup dekat. Mereka adalah teman, sahabat sekaligus saudara sepupu. Ibu Fajar adalah Bude Zanna, kakak dari abahnya. Mereka tinggal bersebelahan, menjadi tetangga sekaligus saudara terdekat yang mereka miliki. Zanna bahkan keluar-masuk rumah Bude Ningrum dan Pakde Hadid seperti di rumahnya sendiri, begitupun Fajar. Namun itu semua terjadi di masa lalu.Ya, sebelum kabar pernikahan datang secara tiba-tiba dan mengejutkan seluruh pihak kecuali keluarga Hadid Wiratama sendiri.

Cinta sudah mulai hadir sejak Zanna tumbuh menjadi seorang gadis, usianya saat itu tujuh belas tahun. Fajar adalah cinta pertama yang tak terlupakan. Zanna mengenal Fajar lebih dari siapapun. Dia tahu segala sesuatu tentang sepupunya itu. Semasa dia masih duduk di bangku SMA, Fajar sudah berkuliah. Setiap sore mereka bermain basket di lapangan terdekat, Zanna juga menemani masnya bermain futsal saat hari sabtu, jogging bersama di hari minggu. Hampir semua hal mereka lewati bersama.

"Mungkin Mas memang menganggapku hanya sebagai adiknya." Zanna bergumam sendiri. Air matanya nyaris kering, matanya terasa panas namun tetes bening itu tak lagi muncul.

Zanna mengurung diri di kamar, sudah dua hari ia tidak makan. Perutnya hanya di isi air putih dan susu buatan ibunya. Tidak tahulah dia harus bagaimana menghadapi takdir yang begitu menyakitkan, cintanya bertepuk sebelah tangan.

Ia pikir dunia begitu tega mencampakkan dirinya, seolah dia tidak dilahirkan untuk mencicip rasa bahagia, tidak untuk merasakan indahnya cinta dan mahligai rumah tangga. Zanna teramat menyayangi lelaki itu, Fajar Wiratama, yang selisih usianya empat tahun dengan Zanna.

Cinta itu buta, benar adanya, Zanna merasa tidak sanggup menatap dunia tanpa Fajar. Dia ingin pergi dan lari sejauh yang ia mampu namun terlambat sudah. Hatinya sudah terluka. Remuk berkeping-keping perasaannya, sakit yang tak bisa di lihat oleh orang lain. Terlalu, dunia terlalu mempermainkanku! Katanya dalam hati.

***

"Mending apanya, Bah. Kemarin masih mau minum susu yang aku buatkan untuknya. Sekarang, minumpun tidak mau. Dia kayak mau mati, Ibu tidak tahu lagi, Bah. Ibu bingung!"

Abah diam saja mendengar pengaduan istrinya. Abah pun tidak bisa konsen ketika mengajar di mahasiswanya, pikirannya selalu kembali ke rumah. Memikirkan anak bungsunya yang kian sengsara.

Abah Salim adalah dosen di universitas swasta yang terakreditasi baik, tidak kalah dengan kampus negeri. Beliau mengajar Fiqih Muamalah 1 dan Fiqih Mualamah 2 yang kontemporer, juga mengajar Ekonomi Mikro Syariah di fakultas Ekonomi Syariah. Saat mengajar Salim terkesan sangat disiplin dan tegas, bahasanya halus dan dalam. Para mahasiswanya suka dengan caranya mengajar. Hari ini Salim pulang lebih cepat, ia mempercayakan kelas pada seorang asisten yang ia tunjuk. Pikirannya benar-benar kacau ketika mengajar, ia sangat khawatir tentang kondisi Zanna.

"Bah, jangan diam saja dong. Itu... di depan ada Fajar dan Wanda. Bagaimana, Bah?" Ambar nampak bingung menghadapi situasi ini.

Abah segera bangkit, "biar Abah yang menemui mereka, kamu buatkan minum saja."

"Nggih, Bah." Ambar manut pada suaminya, dia segera bergegas ke dapur.

Abah sudah sampai depan rumah, ia melihat Fajar dan Wanda sudah duduk di depan beranda rumahnya yang nampak asri. Ada pohon mangga dan nangka yang tumbuh subur, tingginya lebih dari lima meter.

Nafas Cinta Zanna [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang