PROLOG

422 63 8
                                    

Seoul, 7 Januari 2019

Gadis itu duduk di depan cermin rias. Sesekali terantuk karena lelah. Iya, lelah dengan jadwal padat yang sudah ia anggap sebagai pacar. Lucu sekali memang, bagi seorang penyanyi sekaligus aktris, jadwal padat adalah sebuah bagian hidup.

Sedangkan ada dua orang penata rias yang sibuk disekitarnya. Satu orang penata rias sibuk menambahkan blush on di pipi dan berkali-kali memilih warna lipstick yang cocok. Dan satu orang penata rias lagi yang memegangi kepala gadis tersebut agar tidak terus bergoyang karena terantuk.

Beberapa menit kemudian mata gadis tersebut dipaksa untuk terbuka setelah salah satu penata rias tadi berbisik "Jieun aa, buka matamu. Kita perlu mempercantiknya"

Yang dipanggil merasa terganggu, dan membuka paksa matanya yang berat karena minta untuk diistirahatkan. "Ahh, eonni mianhae aku benar-benar mengantuk"

Penata rias tadi langsung sigap melukis garis pada sisi atas dan bawah kelopak Jieun, "Gwenchana, aku mengerti pasti kau sangat lelah. Coba pejamkan matamu"

"Yena eonni memang yang terbaik dalam merias wajahku. hehe" Jieun terkekeh sambil memejamkan mata sedangkan tangan kannanya ia angkat dan menunjukkan tanda jempol.

"Tentu saja" Yena tersenyum mendengar pujian dari Jieun, artis yang sudah 5 tahun terakhir ini dia rias. Dua menit berselang, Yena mengehembuskan nafas lega "Nah sudah selesai, kau bisa membuka matamu lagi. Kau mau menggunakan lensa kan?"

Jieun hanya mengangguk seraya tersenyum. Kemudian memilih warna lensa kontak yang akan ia gunakan. Jieun memandang cermin lagi. Seketika air wajahnya berubah mengingat sesuatu hal yang sudah enam bulan ini mengganjal dirinya. Dengan berat Jieun membuka suara.

"Eonni? Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Hmm? Silakan..." Yena menjawab sambil merapikan ulang rambut panjang Jieun yang digerai bebas. Dan memasangkan lensa kontak yang telah Jieun pilih.

"Seandainya nanti dia datang, menurutmu apa yang harus aku lakukan? "

Yena mengangkat dua alisnya, sedikit menggembungkan pipinya. Kemudian menyentuh pundak Jieun, mengelusnya, membuat Jieun senyaman mungkin. Yena benar-benar berhati-hati dalam memilih kalimat ketika membahas masalah ini dengan Jieun.

"Hmm, Begini, pertama, hari ini adalah final konsermu setelah enam bulan melakukan tour dunia. Kau tau apa? Itu artinya, aku yakin dia memang akan datang. Kedua, semalam aku melihat manajermu-"

"Maksud eonni, Jimin oppa? kakak ku? Ah tidak, calon suamimu? ehehe" Jieun tersenyum jahil karena berhasil menggoda Yena.

"Baiklah katakan sesuka hatimu. Iya, jadi begini semalam kakakmu itu bilang padaku kalau dia pergi ke agensi tempat, ehm maksudku agensi milik lelakimu itu" Yena sedikit memperkecil volume suara ketika mengatakan lelakimu itu.

Jieun berusaha tidak terkejut menanggapinya, walau nyatanya ia sangat terkejut dan memaki Jimin dalam hati. Kakaknya itu sepertinya sudah gila.

"Lalu, yang ketiga dan yang terakhir" Yena melanjutkan pembicaraannya "Yah kau memang harus menghadapinya. Jieun aa, kau sudah dewasa, dia juga sudah dewasa. Kalian memang harus saling bicara dan saling menghadapi masalahnya. Sesuatu yang ingin aku tekankan. Dia lelaki yang baik. Yah tapi aku tetap tidak bisa memaksamu. Apa yang akan kau bicarakan dan kau pilih nanti. Kuharap tidak akan menyakiti kalian berdua,"

Yena memang cerewet. Batin Jieun. Tapi dia menyukainya, karena semenjak ada Yena yang menemani hidup kakanya. Jieun selalu bersyukur melihat Jimin semakin bahagia dengan sifat yang melekat pada Yena –salah satunya cerewet.

PALLETEWhere stories live. Discover now