youth - bagian 4 | baysan

934 109 21
                                    

Bayu terheran sekaligus sumringah melihat meja makan penuh sajian. Berseri-seri ia hampiri Ihsan yang masih sibuk menata, duduk di salah satu kursi, berniat mencomot satu potong ayam ketika tangannya ditepis keras. "Cuci tangan dulu, ih!"

Meski sambil merengut ia menurut.

"Hari ini sarapannya banyak banget, San?" Bayu menggosok-gosokkan telapak tangan yang sudah bersih, tidak sabar.

"Kan sekalian buat Ibu sama Bapak,"

Raut muka Bayu seketika suram. Wajahnya tak lagi dihiasi senyum, berubah seratus delapan puluh derajat. "Ngapain, sih, elah, buang-buang makanan aja. Mereka paling juga ngga pulang semalem. Yang satu sibuk cari pacar, yang satu sibuk mabuk-mabukan."

Ihsan turut kikuk. Tangannya berhenti bekerja begitu saja. Terdiam, kehilangan kata. Tak tahu harus merespon bagaimana.

"Santai, gua yang abisin. Hehe."

Ihsan berkedip cepat. "Oh, iya-iya."

Cengiran polos Bayu kembali membuatnya ikut tersenyum. Ihsan jadi memikirkan banyak hal sekarang. Kalau bapak dan ibu jarang pulang, lalu bagaimana makan bocah ini. Setahunya Bayu tak bisa memasak. Uangpun tak punya, tak mungkin juga beli makan di luar. Kemudian apakah ia dapat perhatian yang cukup? Siapa yang mengontrol nilai sekolahnya, siapa yang mengingatkan untuk ibadah, siapa yang memberinya kasih sayang? Begitu banyak beban yang ditanggung dalam tubuh kurus di hadapannya. Berapa banyak tangis yang disembunyikan senyum tengil itu. Ihsan menyesal, kenapa ia tak datang lebih awal. "Makan yang banyak, biar tambah tinggi," ujarnya sambil mengusap pelan pucuk kepala Bayu.

"Ngga mau ah. Nanti kalo gua tambah tinggi nunduknya susah kalo mau cium lu,"

Usapan di kepala Bayu berubah jadi jitakan dalam sepersekian detik. "Sialan, lu." Entah bagian mana yang ia tidak sepakati: dikatai Bayu pendek, atau kata-kata Bayu yang tersirat ingin menciumnya. Ihsan menggeleng kecil. Sudah, ah, paling juga cuma bercanda.

Ia kemudian turut duduk, memandangi Bayu yang lahap dengan nasi dan berbagai lauk di piringnya. Rasanya menyenangkan sekali melihat Bayu makan. Padahal harusnya ia sudah terbiasa, kan."Enak?"

"Enak, San. Lu pinter masak ternyata,"

"Iyalah. Kalo gua ngga pinter masak lu ngga bisa makan, Bay,"

"Wah, kita tinggal bareng?"

Ihsan tertawa geli melihat senyum Bayu yang mengembang dengan mata yang berbinar antusias. Apa istimewanya tinggal bersama.

"Kita pacaran?"

Ihsan terperanjat. Cepat-cepat ia menyanggah. "Enggak, lah. Kita patungan bayar kamar, kita berdua sama-sama miskin. Puas lu?"

Bayu berhenti mengunyah. Tatapannya meredup lagi, membuat Ihsan seolah merasa telah melakukan kesalahan. "Lu udah nikah, ya?"

"Hah?"

"Itu, lu pake cincin kawin,"

Bayu menunjuk jari manis kiri Ihsan dengan dagunya, yang sebentar kemudian Ihsan tutupi dengan telapak tangan kanan.

Bayu mengangguk mengerti, ia terlambat. Didahului masa depan Ihsan. Halah, rumit sekali hidupnya. "Gua nikahin lu sekarang aja ya, San, biar di masa depan lu nggak nikah sama orang lain. Nggak rela gua," ujarnya. Serius, namun dikemas dengan nada main-main.

Kepala Bayu digeplak tanpa permisi. Ia mendelikkan mata sebagai reaksi. Sumpah, kepalanya sakit sekali. Kalau bukan Ihsan, mungkin kata-kata umpatan sudah meluber ke mana-mana.

"Heh! Sekolah dulu yang bener! Mau nafkahin gua pake apa, sok-sok an mau nikahin,"

"Ya udah, lu kudu tungguin gua sukses dulu, ngga boleh nikah dulu, kudu nikah sama gua pokoknya."

blueWhere stories live. Discover now