by the rain gone | fajri

1.1K 128 27
                                    



Fajar melirik jam tangannya, kemudian menengadah pada langit lagi. Sudah jam sepuluh, kampus sudah sepi, dan rasa-rasanya hujan belum akan berhenti. Ia mengumpati dirinya sendiri karena lupa memasukkan jas hujan ke jok motor. Atau kenapa tidak mengindahkan ajakan Ihsan untuk pulang sebelum hujan makin deras. Atau kenapa pula skripsinya tidak selesai-selesai. Kalau yang terakhir sih memang karena Fajar bodoh.

Ya sudah deh, terobos saja. Ia ngeri kalau harus di kampus sendirian malam-malam begini.

Tuh, kan, benar. Fajar makin tarik gas, bayangan makhluk yang berdiri di depan gedung dekanat Psikologi makin terlihat jelas, membuat Fajar makin merinding saja. Kenapa pula jalan pulang paling terang harus lewat gedung fakultas horor ini sih.

Eh, tapi tunggu, setelah ia lihat-lihat lagi sosok itu tetap muncul di spion motornya, menutupi wajahnya dari tetesan hujan dengan map plastik. Fajar mecucu, masa iya setan takut hujan. Lantas ia memelankan laju motornya. Putih, sih, manis lagi. Bisa saja benar setan, tapi kok rasanya ia kenal, ya, sosok itu?

Ketika otaknya akhirnya bekerja dengan benar, ia buru-buru menarik rem. Itu Rian bukan, sih?

Ia picingkan lagi matanya.


Subhanallah! Ini mah malaikat, bukan setan!

--------



"Yan! Ian!"

Rian menoleh, sedikit merinding memikirkan kemungkinan-kemungkinan siapa yang memanggil namanya. Kemudian sorot lampu motor sampai pada hadapan, membuat ia harus menyipitkan mata saking silaunya.

"Ian! Ini Fajar!" Fajar kembali merutuki hujan yang terlampau deras. Pasalnya selain suaranya tak terdengar jelas, pandangan mereka juga memburam karena cucuran hujan, menghalangi Rian melihat wajah gantengnya, hehe. "Fajar yang dulu satu kepanitiaan sama kamu!"

Oh! Fajar yang itu. "Oh, iya, Mas Fajar? Ada urusan apa, ya?"

Fajar heran sebenarnya. Rian ini terlalu polos atau bagaimana. Masa iya ia cuma sekadar mampir membicarakan urusan di tengah hujan malam-malam begini. Pada akhirnya ia ikut turun, menutupi kepala dengan telapak tangan menuju posisi Rian berdiri. "Kok belum pulang?"

"Oh iya, tadi baru ngurusin acara buat besok."

"Sendirian?"

Rian mengangguk. "Iya, tadi nggak ada tebengan. Tapi.. udah pesen ojol, kok, Mas."

"Kok nggak masuk aja? Di luar gini kan masih kena hujan."

"Ojolnya belum nyampe, tapi hape saya udah kadung mati. Biar pak ojeknya gampang nyarinya, saya keluar." Jelasnya diakhiri dengan senyum manis, untung Fajar tidak pingsan. Cuma deg-degan aja sih, hehe.

"Udah lama pesennya?"

"Lumayan, sih."

"Ya udah, Mas temenin sampe ojeknya dateng, ya,"

"Eh nggak usah, Mas,"

"Nggak apa-apa, kok, lagian nunggu agak reda juga."

Percakapan berhenti sampai di situ. Keduanya berdiri canggung. Hening diisi oleh suara hujan yang berisik. Juga suara detak jantung mereka yang tak kalah berisik.

Rian bertemu Fajar di salah satu acara kampus tahun lalu. Fajar menjalankan peran sebagai ketua panitia dengan sangat baik. Dia santai, kerap jadi moodbooster saat anak-anak murung karena persiapan acara yang penuh kendala, jadi pemecah tawa saat rapat sedang panas-panasnya, jadi penasehat yang hebat karena bisa melihat masalah dari banyak sudut pandang, sahabat yang menyenangkan saat merangkul rekan panitianya yang mulai kendor dan ilang-ilangan, tapi sekaligus berwibawa dan selalu tanggung jawab. Jujur saja, Rian kagum pada orang ini.

blueWhere stories live. Discover now