youth - bagian 1 #baysan

1.1K 120 15
                                    


Seperti yang Ihsan tebak, Bayu ada di sana, duduk meringkuk sendirian di samping tembok rumahnya, menggenggam sebotol minuman keras murahan. Suara-suara teriakan dan barang yang terlempar terdengar jelas menjadi pengisi malamnya.

Ia tidak menangis. Bayu Pangisthu tidak menangis. Ihsan tersenyum kecil mengingat semboyan Bayu bertahun-tahun lalu itu.

Ihsan mendekat, merebut botol kaca dari tangan Bayu, menghasilkan tatapan kaget bercampur bingung pada wajah tampan si bocah 17 tahun.

"Heh, lu-"

Sebelum ucapannya selesai, Ihsan sudah terlanjur memeluknya. Mendekapnya begitu erat, bahkan Bayu sendiri kehilangan kontrol atas respon tubuhnya. Bayu sungguh tak tahu dengan keadaan ini, atau rasa aneh yang menyeruak pada dadanya. Ketika si pria asing mulai terisak dengan wajah yang terselip pada perpotongan lehernya, yang ia tahu, batinnya terus menyeru agar melindungi pria ini. Siapapun dia.

-

Ihsan terperanjat. Ruangan sudah penuh dengan cahaya matahari. Kesiangan kah?

"Udah bangun, lu?" Ihsan menengok dan mendapati Bayu terduduk pada kursi di samping tempat tidurnya. Puntung rokok yang masih menyala terselip pada jari tengah dan telunjuknya.

"Jam berapa, Bay? Udah sarapan? Kok belum siap-siap? Kamu praktik pagi, kan? Panji udah dibangunin belum? Aduh, bisa telat ke sekolah dia,"

Sungguh ini di luar nalar. Apa yang sebenarnya dikatakan pria tak jelas ini. Lagipula dari mana ia tahu namanya. Salah memang Bayu membawanya ke kamar semalam, setelah menangis sesenggukan dan tertidur dengan anehnya.

"Lu siapa sih, Om?"

Ah! Saat ini Bayu bukan Bayu yang Ihsan kenal. Ini Bayu si berandalan SMA. Bayu yang ini butuh sarapan dan berangkat ke sekolah segera. Ihsan melirik pada jam dinding. "Jam tujuh kurang, belum telat-telat banget. Sana mandi, aku siapin sarapan." Ihsan yang sudah bangun kini mendorong punggung Bayu untuk bangkit juga.

"Apaan sih, Anjing!"

Ihsan melonjak kecil. Terkejut, tentu saja. Bayu lima belas tahun kemudian tak pernah lagi berkata kasar. Beda strategi nih kalau begini. "Cepetan, ih! Bentar lagi telat. Mau gua siram disini, heh?!" Tangan Bayu ia tarik agar geraknya lebih cepat sedikit.

Walau masih dengan menggerutu, Bayu akhirnya berdiri. Kekehan Ihsan muncul ketika mendengar umpatan-umpatan sebal dari kamar mandi.

"Gua masakin telur dadar sama sambel kesukaan lu, jangan lama-lama mandinya!"

"Iya, Sat! Bawel!"

Rasanya aneh sekali. Entah ini hari keberapa sejak terakhir kali ia berangkat sekolah. Apalagi dengan tas yang penuh dengan buku (yang ditatakan Ihsan tadi sebelum berangkat).

"Turun, woy!" Ihsan menggoyang-goyang badan motor. Bayu yang duduk di belakang mengernyit tak suka. Kalau saja ia bisa bersikeras menolak godaan sambal matah di atas meja makan pasti ia tidak akan kalah taruhan. Sialan memang sambal buatan Ihsan, harum sekali baunya.

"Bayuuu!"

"Iya-iya, berisik banget, sih!" Dengan tak rela ia turun dari jok motor bebeknya, berjalan malas menuju gerbang sekolah yang sebenarnya sudah tertutup.

Baru tiga langkah berjalan, suara Ihsan memanggilnya. Ihsan ternyata sudah ikut turun, berdiri di balik punggungnya. "Semangat belajarnya, Bay! Kamu bakal jadi dokter hebat, bantu banyak orang buat sembuh. Jadi, jangan nyerah, oke?"

Mata Bayu memicing, menatap tak suka pada pria di hadapannya. "Lu siapa sebenernya?"

Ihsan sendiri mati-matian menahan air mata. Kata-kata barusan adalah kata-kata yang sangat ingin ia sampaikan pada Bayu, berpuluh tahun ke belakang. Kata-kata yang ia harap akan bisa mengubah masa depan. "Gua Ihsan, kan udah gua bilang tadi. Budek ya, lu?" Ia tersenyum sekali lagi, mendorong Bayu untuk berbalik kembali menghadap gedung sekolahnya. "Udah sana. Nanti gua jemput pulangnya, ya."

Bayu tak mengerti. Ia tak pernah bercerita sedikitpun tentang cita-citanya menjadi dokter, kecuali pada almarhum ayahnya. Cita-citanya untuk menyembuhkan banyak orang, terutama menyembuhkan penyakit ayah. Yang tak lagi bersisa ketika ayah lebih memilih mati karena melihat ibu malah berselingkuh dengan keadaan ayah yang sudah sekarat. Sialan. Ia benci pria itu, kenapa pula mampu membawa kembali memori yang sudah ia buang. Ia tambah benci ketika pria itu masih di sana, bersandar pada motor bebeknya sambil menundukkan kepala ketika Bayu baru saja selesai dengan hukuman sepuluh kali lari putar lapangannya. Ia benci ketika melihat mata itu menangis. Ia benci ketika melihat punggung sempit itu bergetar.

Sialan. Bayu sialan.

blueWhere stories live. Discover now