Truth Hurts

194 9 1
                                    

Sepanjang perjalanan kembali menuju rumah Ariana, bayangan kedua orang itu muncul silih berganti dalam benakku. Aku selalu saja membandingkan cara kerja kedua orang itu dan memperkirakan mana yang jauh lebih bagus kinerjanya. Jason si senior atau Isaac anak baru yang banyak gaya?

Sekarang, aku sedang memikirkan apa yang akan dilakukan Jason kalau dia yang berada di posisi Isaac tadi. Kalau Isaac langsung mengancamku menggunakan pistol, kira-kira apa yang akan orang seperti Jason lakukan jika ada orang tak dikhendaki masuk ke kamarnya?

Beberapa kemungkinan berputar di dalam otakku. Kemungkinan, Jason pasti akan melakukan hal yang sama padaku yang sedang menyamar saat itu. Tapi setelah itu kemungkinannya menjadi bercabang.

Dia bisa saja langsung tertawa dan berpura-pura kalau dia hanya membuat takut  orang yang menyamar itu, atau dia bisa mengenali orang yang sedang menyamar itu. Jason kan punya Chelsea yang ahli dalam penyamaran, dia pasti tahu cara mengetahui orang yang sedang menyamar.

Tapi lain lagi ceritanya kalau Isaac hanya berpura-pura tidak tahu aku sedang menyamar.

Huuuhh. Otakku makin kacau saja tiap kali memikirkan apa yang diinginkan dariku oleh Isaac. Semua kemungkinan yang pernah terlintas diotakku, sudah tereliminasi karena kedengarannya cukup tidak mungkin.

Apa dia sejak awal mengetahui kualitas kerjaku dan berniat mengajakku bergabung dengan organisasinya? Kalau begitu, aku akan segera menolaknya dengan sangat sopan dan halus.

Atau mungkin, dia tahu kalau aku akan menolak tawarannya, jadi dia langsung menculikku begitu saja? jika benar begitu, maka dia adalah pria pengecut yang pernah ku kenal. Untung Jason bukanlah orang semacam itu.

Sudah kubilang kan, Isaac ini kemampuannya masih dibawah rata-rata dan sama sekali belum diasah oleh tenaga ahli seperti aku dan Jason. Bahkan Ariana sebenarnya bila difikir-fikir lagi, kemampuannya masih setara dengan Isaac.

Mesin mobil pun dimatikan ketika mobil sudah memasuki halaman rumah. Seperti semudah merapikan rambutku, aku mengubah ekspresi wajahku lagi seperti wajah seseorang yang masih sangat merana. Percampuran antara wajah kelaparan, menahan buang air besar, mengantuk dan bosan hidup kucampur menjadi satu ekspresi wajah yang mengerikan ketika aku mengeceknya di kaca spion.

Ariana tentu tidak boleh tahu kalau aku sedang senang dan baru saja mengambil ponselku yang menyebabkan kebahagianku saat ini. Setelah ponselku disimpan di kantong celana bagian belakang, sambil berharap Ariana tidak memperhatikan, aku berjalan masuk kedalam rumah.

Begitu pintu terbuka, kulihat Ariana sedang duduk cemas diatas sofa tapi dia tak menyadari kedatanganku hingga aku ikut duduk disampingnya. Ariana sedikit tersentak kaget sebelum dia menoleh kearahku dan menanyakan kemana saja aku pergi.

“Trying to suicide.” Jawabku dingin dan tatapan kosong. Ariana menatapku sedih. Kecemasan yang tadinya tergambar jelas diwajahnya kini sirna. Kelihatannya aku berhasil menipunya. “I apologize, Kim. Gue tau lo ga mau punya kehidupan kayak gini. Tapi ini semua demi keselamatan elo juga.”

“Lo kira gue gatau gimana caranya ngejaga diri gue sendiri? Lo tau sekarang yang lebih terancam keamanannya adalah anak-anak gue? Dimana sih otak lo berada sekarang?” balasku dengan nada yang amat tenang hingga membuat Ariana diam membeku. Tak tahu harus menjawab apa.

“Kalau lo punya hati, harusnya lo ngebiarin gue mati aja biar gue nyusul Jason. I’d be happy forever after then.” Setelah berkata begitu, aku langsung beranjak dari atas sofa menuju lantai atas.

Saat itu, aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Ariana padaku. dan kalau saja aku tahu, hal apa yang akan terjadi selanjutnya tidak akan seburuk yang pernah kukira sebelumnya.

KIMBERLY 2: The Scarlet ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang