CHAPTER I

7.2K 423 10
                                    

Ia bukan seseorang yang menyukai bangun di pagi hari. Itulah alasan sederhana kenapa Jared Ripmer bekerja sebagai bartender di Necktie bar, melayani orang dengan senyuman terpaksa, memberikan minuman aneh pesanan mereka dan terkadang mendengarkan cerita mereka. Upper East Side adalah tempat di mana orang tidak bisa menjadi diri mereka sendiri dan bar ini adalah tempat pelepasan penat untuk mereka.

"Hai, Jared!" sapa seorang wanita dengan rambut ikal kecokelatan sembari menyandarkan dirinya di bar. Wanita ini, Lisa Argenteis, adalah seorang pelanggan tetap Necktie. Sangat sadar dirinya menarik dan mempunyai kartu kredit tanpa batas, sehingga ia tahu ia bisa mendapatkan apa saja. "Malam ini aku dan teman-temanku akan gila-gilaan!" serunya.

Yah, bukankah itu yang biasanya kau lakukan setiap malam di sini, Lisa? Menghabiskan uang orang tuamu dengan berbotol-botol champagne?

"Kami akan bersenang-senang dengan cara baru kali ini..." Lisa mengayun-ayunkan plastik kecil berisi bubuk putih, senyuman nakal menghiasi wajahnya.

Klise.

Kemudian Lisa berlalu pergi sembari membawa segelas minuman yang tadi dipesannya.

Di Necktie, banyak wanita seperti Lisa, penerima dana perwalian yang tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Prianya? Kebanyakan pria yang mengunjungi Necktie adalah pria brengsek yang memandang dirinya berada di atas segalanya dan bisa mendapatkan apa saja.

Itulah mengapa Jared senang bekerja di Necktie. Selain ia tidak perlu bangun terlalu pagi, ia juga bisa mencari mangsanya dengan mudah.

***

Butuh beberapa kali pengamatan sebelum ia memutuskan seseorang adalah mangsanya. Lisa adalah seorang pengunjung tetap, jadi ia sudah tahu kebiasaan Lisa sepulangnya ia dari Necktie. Biasanya, jika ia tidak tertarik kepada seorang pria untuk melakukan one night stand, Lisa akan berpisah dengan teman-temannya di pintu bar. Mengucapkan selamat tinggal dan saling mengecup pipi. Lalu, ia akan mengecek telepon genggamnya, memanggil supir yang akan menjemputnya dengan limosine berwarna putih.

Malam ini, Lisa masih mengulang kebiasaannya.

"Hai, Lisa," sapa Jared, merapatkan risliting jaket hitamnya. Udara New York di dini hari sedikit menusuk, terutama menjelang musim gugur seperti ini.

"Oh, hai Jared!" balasnya dengan tubuh yang sedikit bergoyang.

"Kau sendirian menunggu Limo yang biasa?" tanyanya, memastikan tidak ada orang di sekitar mereka yang bisa melihat bahwa Jared adalah orang terakhir yang bersama dengan Lisa. Kemudian ia mengenakan topi hitam yang menutupi sebagian wajahnya.

"Ya..." Lisa mendekat ke arah Jared, merangkul lengan pria itu. "Temani aku sebentar, ya? Mau, kan?" tanyanya, jemarinya yang panjang dan berhias cat kuku warna merah serta cincin berlian mengelus rahang Jared.

Terkadang penampilan fisiknya sangat membantunya memikat mangsa.

"Aneh sekali. Teleponku tidak ada sinyal. Aku belum bisa menghubungi supirku sedari tadi," ucap Lisa, wajahnya terlihat cemas.

Itu karena aku memasang penghalang sinyal dan menyalakannya ketika kau melangkahkan kaki di luar.

"Hmm... ini sudah hampir pagi. Aku ada mobil, kau mau kuantar pulang?" tanya Jared.

"Sungguh? Kau mau melakukan itu?" tanyanya dengan mata berbinar. Kemudian, ia menarik leher Jared mendekat dan memberi bibir Jared kecupan. "Kau yang terbaik, Jared!"

Mereka berjalan menjauhi Necktie. Terdengar suara klakson mobil, bercampur dengan suara ketukan hak tinggi yang dikenakan Lisa. Jalanan yang tadinya terang benderang perlahan menjadi gelap dan Jared mulai mengenakan sarung tangannya.

"Kau parkir cukup jauh," ucapnya dengan sedikit kekehan. "Apa kau akan "menyerangku" di sini? Aku sudah cukup basah..." desahnya di telinga Jared.

Jared menghentikan langkahnya, menghadap Lisa dan tersenyum. Udara dingin kembali berhembus ketika Jared memperhatikan wajah Lisa yang memandangnya tanpa rasa curiga.

Tetesan air dan hembusan angin terasa melambat ketika ia mengambil pisau yang terselip di pinggangnya dan merobek arteri di leher Lisa yang jenjang hanya dalam satu nafas. Mata Lisa terbelalak lebar, ia terdiam, seperti mencerna kenyataan bahwa ia berada di ujung masa hidupnya. Darah mengalir deras dari leher Lisa yang sekarang menganga. Ia jatuh berlutut lalu tersungkur dengan muka membentur jalan berbatu.

Pemandangan yang selalu membuatnya tersenyum senang. Terutama ketika ia menjilat darah yang terpercik ke wajahnya.

Jared memperhatikan tubuh Lisa yang terbujur di depannya, melihat darah yang mengalir membasahi aspal dingin. Disentuhnya leher Lisa, memastikan kematian mangsanya. Kemudian, ia menggoreskan pisaunya di sepanjang hidung Lisa. Sembari mengagumi "hasil karyanya" malam ini.

Ia mendesah, merasakan jantungnya yang berdetak, merasakan adrenalin yang mengaliri pembuluh darahnya. Ia merentangkan tangannya dan tertawa tanpa suara.

Kepuasan.

Itulah yang dirasakannya.

***

"Silahkan, nona..." seorang pelayan pria meletakkan secangkir teh di hadapannya. Twinnings Earl Grey selalu menjadi pilihannya di saat brunch seperti ini.

"Terima kasih," ucapnya ramah dan pelayan itu sedikit tersipu. Kemudian setelah pelayan itu berlalu, ia menuangkan sedikit cream dan mencemplungkan satu cube gula ke dalam cangkir teh-nya. Setelah ia menyisip tehnya, ia mengambil mapple syrup dan menuangkannya banyak-banyak ke atas tumpukan pancake.

Claudia Atwell selalu menikmati waktu brunch-nya. Salah satu alasan kenapa ia mencintai New York adalah kecintaan para New Yorkers akan brunch. The Atelier ini adalah salah satu tempat brunch favoritnya. Berada hanya 10 menit jalan kaki dari apartemennya, sehingga ia tidak perlu repot-repot memesan Uber atau mencari taksi. Ia mengenal beberapa orang yang ada di The Atelier saat itu, tetapi, ia memilih untuk duduk sendiri. Waktu terasa melambat saat ia menikmati biasan cahaya mentari dari tempat duduknya di samping jendela besar yang dibingkai oleh kayu hitam yang kokoh.

Dan, ia benci jika ada gangguan di kala ia menikmati semua hal duniawi ini. Termasuk ketika suara volume TV yang terlalu besar mengusik telinganya.

"Tuhan, si Nosedive beraksi lagi. New York benar-benar sudah tidak aman!" seru para pelayan yang berkerumun di meja bar, menatap ke TV yang terletak di atasnya.

Penyiar berita di televisi itu mengatakan, "Pagi ini seorang pejalan kaki menemukan mayat seorang wanita dengan sabetan di leher dan goresan di hidung yang disinyalir merupakan korban keempat dari serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh Nosedive."

"Nosedive? Media benar-benar kreatif memberi nama kepada pembunuh berantai," ujar Claudia sinis sembari meneguk tehnya. Ia kemudian membuka telepon selularnya, mencari tahu tentang Nosedive. Mata hijau-nya membaca kumpulan artikel tentang pembunuh itu.

Korban pertamanya disinyalir sekitar 6 bulan yang lalu, seorang pengacara pria di salah satu firma hukum terkenal di Upper East Side. Kemudian ada jeda 3 bulan sebelum berita tentang korban keduanya muncul di berita. Kali ini seorang wanita, selebriti Instagram, mayatnya ditemukan di East Harlem.

"Ia sedang belajar... menyempurnakan metodenya," gumamnya, dengan senyuman tertarik.

Lalu, korban ketiganya adalah seorang pria pewaris salah satu jaringan hotel, mayatnya ditemukan di Central Park. Dan, korban keempat adalah wanita yang sedang dibicarakan di televisi. Hanya ada jeda kurang lebih sebulan antara korban kedua, ketiga dan keempat.

"Hmm... ia seorang pembunuh berantai yang suka mengamati korbannya dan bertindak dengan cukup hati-hati." Claudia membuka sebuah tautan dan ia melihat foto korban-korban Nosedive. Foto korban pertama terlihat dibunuh dengan cukup brutal, jelas ada kemarahan di sana. Sementara foto-foto korban yang lain memperlihatkan metode pembunuhannya yang semakin bersih.

Claudia menggigit bibirnya, menelan ludah dan ia bisa merasakan darahnya bergejolak. "Belum waktunya, tetapi sepertinya nanti malam aku harus berburu..."    


At A Plain SightWo Geschichten leben. Entdecke jetzt